Terumbu karang biasanya diambil langsung dari alam (wild-harvested) atau dibudidayakan (aquacultured/maricultured).
Akan tetapi, pengambilan dari alam sering kali merusak ekosistem karena menggunakan metode seperti pemecahan karang secara mekanis atau bahan kimia yang merusak lingkungan, seperti sianida.
Sehingga, ekspor terumbu karang menjadi isu kontroversial karena dampaknya terhadap ekosistem laut, termasuk kerusakan habitat, penurunan populasi biota laut, dan ancaman terhadap keberlanjutan lingkungan.
Terumbu karang adalah organisme laut yang membentuk ekosistem penting di perairan tropis, termasuk di Indonesia, yang merupakan bagian dari Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) dengan luas wilayah mencakup lebih dari 6.500.000 kilometer persegi, pusat keanekaragaman hayati laut dunia.
Baca juga: Curhat Warga Merasa Dipermalukan usai Dianiaya Ketua DPRD saat Nonton Bola: Saya Tak Kenal
Menurut WWF, Segitiga Terumbu Karang menjadi rumah bagi 76 [ersen spesies terumbu karang dunia, memiliki 15 spesies karang endemik regional (spesies yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia), dan berbagi 41 spesies endemik regional dengan Asia, dikutip dari laman biorock-indonesia.com.
Tidak hanya itu, di kawasan Segitiga Terumbu Karang juga terdapat episentrum/pusat keanekaragaman terumbu karang yaitu di Semenanjung Doberai/Bird’s Head Peninsula di Papua.
Kekayaan ini menyimpan 2.228 spesies ikan terumbu karang dari total 6.000 spesies ikan terumbu karang dunia.
Indonesia sendiri dikenal sebagai salah satu negara pengekspor terumbu karang hias dan ikan karang terbesar di dunia, sebagaimana dikutip dari jurnal New Threat to Coral Reefs: Trade in Coral Organisms yang ditulis oleh Andrew W. Bruckner dan terbit di laman issues.org.
Namun, perdagangan terumbu karang, ditambah praktik merusak seperti penangkapan ikan berlebih atau dengan penggunaan bom dan sianida, berdampak buruk pada ekosistem laut.
Baca juga: Tidur di Tossa Usai Kopdar Layangan, Hadi Tak Sadar Kecelakaan, Kaget Bangun Sudah di Puskesmas
Yakni, tinggal 5 hingga 7 persen terumbu karang Indonesia yang memiliki tutupan karang yang sangat baik pada 1996.
Ekspor terumbu karang, apalagi yang diambil dari alam secara langsung atau wild-harvested justru berpotensi over exploitation (eksploitasi berlebih) dan menimbulkan kerusakan.
Sementara itu, budidaya karang untuk kebutuhan ekspor, meskipun lebih berkelanjutan, memerlukan teknologi dan investasi yang cukup besar.
Dikutip dari jurnal Threats to Coral Reefs, perdagangan koral atau terumbu karang hias, terutama yang dilakukan secara ilegal dan tidak berkelanjutan, merupakan salah satu ancaman besar terhadap keberlangsungan hidup ekosistem laut yang dibangun oleh hewan-hewan kecil bernama polip karang, yang menghasilkan struktur kalsium karbonat ini.
Ancaman lainnya meliputi kerusakan yang timbul akibat aktivitas manusia, seperti pembangunan pesisir pantai, pengerukan, penggalian, praktik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak, jangkar dan kandasnya kapal, serta penyalahgunaan rekreasi (menyentuh atau menghilangkan karang).
Lalu, polusi yang berasal dari daratan, seperti sedimentasi, zat-zat beracun, nutrien berupa nitrogen dan fosfor dari aktivitas pertanian dan peternakan, patogen atau bakteri penyakit dari kontaminasi kotoran manusia atau ternak, hingga ancaman polusi sampah dan mikroplastik.
Berita viral lainnya
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com