Ia mengatakan bahwa mereka tak tahu-menahu keberadaan kabel ilegal itu selama 20 tahun tinggal di rumah tersebut.
Dalam unggahan tersebut, Anton mengatakan ia dapat menunjukkan bukti kepemilikan rumah.
Ia juga menunjukkan bukti tagihan listrik miliknya yang cenderung stabil.
Bahkan, pada 2017 lalu, Anton pernah meminta PLN untuk melakukan pemeriksaan di rumahnya untuk memeriksa meteran dan kabel, namun saat itu PLN tak memberitahu adanya permasalahan kebocoran listrik.
“Kami merasa kalau nggak mungkin ada pencurian listrik karena tagihan listrik selalu turun naik sesuai dengan pemakaian listrik di rumah, dan itu pun pembayaran tagihan listrik kami terhitung tinggi," ungkap Anton.
"Logikanya, jika memang kami benar-benar melakukan pencurian listrik, seharusnya tagihan kami selalu stabil dan jauh lebih rendah. Tetapi kenyataannya kan enggak,” lanjut Anton dalam utas tersebut.
Baca juga: Wali Kota Kediri Vinanda Dikukuhkan Jadi Ibunda Guru, Dorong PGRI Bersinergi Majukan Pendidikan
Pada Senin (30/6/2025), PLN kembali datang bersama dengan TNI berpangkat Praka.
Anton meminta TNI tersebut menyerahkan surat perintah atau surat tugas, namun TNI tersebut malah menunjukkan surat yang sudah kedaluwarsa.
Saat itu, PLN memutus kabel yang terhubung ke meteran dan menggantinya dengan kabel yang langsung terhubung ke tiang di luar.
Meski begitu, pihak PLN tetap memaksa ibu Anton untuk membayar denda sebesar Rp 87 juta.
Jika keberatan, Anton diminta untuk membuat surat keberatan.
Pada Senin (28/7/2025), Anton dan ibunya menerima surat panggilan untuk diminta kembali datang ke PLN Pondok Gede. Mereka mendatangi instansi tersebut sambil membawa surat keberatan.
Baca juga: Pilih Kabur, ODGJ Pembakar Mobil Kepala Desa di Trenggalek Kini Jadi Buron Warga
Pada awal bulan Agustus, Anton dan ibunya menghadiri rapat undangan dengan PLN, di sana ada pula pihak Kementerian ESDM.
PLN tetap pada keputusan bahwa ibu Anton harus membayar denda.
Menurutnya, pada pertemuan itu, pihak ESDM melakukan intimidasi terhadapnya. Pihak ESDM mengatakan bahwa di Kementerian ESDM ada bagian kriminalisasi dengan penjara hingga 7 tahun dan denda 2,5 miliar rupiah.