"Kalau penerapan royalti tersebut berbasis armada atau jumlah bus menjadikan beban operasional semakin tinggi," katanya.
Baca juga: Bus Stop Putar Musik Takut Ditagih Bayar Royalti Miliaran, Ibu-ibu Protes Perjalanan Jadi Sepi
Untuk itu, pihaknya berharap pemerintah segera menyosialisikan besaran yang dikenakan pada bus, atau tidak serta merta memberi tagihan seperti yang pernah dialami oleh pengusaha resto atau hotel.
Ia mengaku meminta pada kru bus untuk menempelkan stiker pada bus sebagai pemberitahuan tidak menyediakan musik.
"Kalaupun ada penyewa yang menginginkan ada musik ya dimasukkan pada paket jualnya," katanya.
Saat ini, jumlah armada bus milik PO Pandawa 87 sebanyak 200 unit yang melayani untuk pariwisata dan reguler antarkota antarprovinsi (AKAP).
Ia mengatakan, jumlah penyelenggara bus cenderung menurun seiring kondisi ekonomi masyarakat sedang lesu.
Kondisi ini diperparah dengan surat edaran kepala daerah yang melarang siswa untuk outing class atau bertamasya ke luar kota.
"Pemerintah itu seharusnya mempermudah dan tidak membuat bingung para pengusaha dengan aturan baru. Terutama soal pajak atau pembayaran royal musik seperti itu," katanya.
Syafril, salah satu pengusaha bidang travel asal Pasuran juga mengungkapkan, sejak adanya aturan royalti musik, pihaknya melakukan penyesuaian paket harga. Ada juga PO bus masih menerapkan musik berbayar.
"Ya terpaksa membuat paket harga baru karena sebagian bus yang disewa tidak berkenan memutar musik yang berkategori atau tercatat di LMKN dan konsekuensinya berbayar royalti," ujarnya.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com