Setiap Senin, ia dan suami mengambil daun semanggi ke kampung semanggi daerah Benowo.
Lalu mengolahnya dengan cara dijemur sedikit layu, gunanya agar daun semanggi tidak terlalu keras dan berair.
Kemudian merebusnya sesuai kebutuhan harian.
Pilihannya jualan kuliner semanggi atas dasar nasihat sang ibu.
Perempuan yang saat ini telah memiliki 10 cucu tersebut merasa saran dari sang mertua tersebut adalah jalan keluar dari permasalahan ekonomi yang sebelumnya kerap dihadapi.
Berangkat dari Tandes turun ke Wonokromo, menggendong wakul keranjang menggunakan selendang lalu keliling kampung.
Hingga akhirnya ia menemukan tempat berjualan.
"Dodolan semanggi ae, soro nak, tapi anak bojomu mangan, sangu sekolah anak wes cukup. Nurut omongan e wong tuo. (Berjualan semanggi saja, susah, tapi anak suami makan, uang saku anak sekolah sudah cukup. Nurut sama nasihat orang tua). Kata ibu saya dulu begitu," ujarnya.
Usaha semanggi disebut mencukupi kebutuhan keluarganya.
Satu porsi semanggi dijual Rp10 ribu.
Setiap hari, ia menghasilkan Rp 500 ribu dari berjualan semanggi.
Sementara Sabtu dan Minggu, Yati mengaku mengantongi Rp1,5 juta.
Ia berharap usaha yang digeluti keluarganya ini dapat diteruskan oleh keluarganya.
"Sudah dari ibu saya, mertua kakak saya, kakak saya juga bergantian jualan."
"Paling nanti diteruskan menantu yang belum kerja, soalnya anak saya kerja," tuturnya.