Tak jauh dari rumah Sukatma, tinggal pasutri Khalid (60) dan Imas (58), yang juga hidup di kontrakan sempit bersama dua anaknya yang masih bujang.
Tiga anaknya yang lain sudah berkeluarga, sesekali membantu kebutuhan orang tua mereka.
Sehari-hari Khalid bekerja sebagai buruh bangunan.
Namun, sudah beberapa bulan terakhir ia menganggur.
Hanya jika ada panggilan kerja serabutan, ia bisa membawa uang pulang.
Untuk kebutuhan sehari-hari, istrinya mencoba berjualan nasi uduk.
Itu pun tak selalu laku.
"Sebulan Rp800 ribu kontrakan satu kamar, isinya berempat. Kalau enggak ada uang, kadang dibantu anak-anak Rp200 ribu, Rp300 ribu."
"Kalau sekarang malah belum bisa bayar, masih ditoleransi pemilik kontrakan karena keluarga juga," kata Khalid.
Mendengar soal fasilitas anggota DPR yang serba ada, Khalid hanya bisa menghela napas.
"Kurang adil, karena orang di atas enggak melihat ke bawah. Mereka dijamin semua, kesehatan, keluarga."
"Sementara orang kecil kaya saya, untuk berobat aja walaupun ada BPJS, tetap butuh ongkos. Listrik, air, semua mahal."
"Kita hidup serba pas-pasan," katanya.
Cerita serupa datang dari warga Kampung Tongkol lainnya, Anis Wiranti.
Ia tinggal bersama suaminya, Mudiono, dan dua anaknya yang masih kecil di kontrakan seharga Rp1 juta per bulan.