Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Tergencet Dolar, Pengrajin Tempe dan Tahu di Sidoarjo Kompak Bersiasat Agar Pelanggan Tak Kabur

Pengrajin tempe dan tahu di Sidoarjo kompak bersiasat agar pelanggan tak kabur, saat dolar terus menggencet.

Penulis: M Taufik | Editor: Mujib Anwar
SURYA/M TAUFIK
Salah satu perajin tempe di Sepande Sidoarjo yang memilih mengurangi ukuran tempenya gara-gara harga kedelai naik. 

TRIBUNJATIM.COM, SIDOARJO - Harga tahu dan tempe memang tidak naik. Tapi ukuran dua jenis penganan berbahan baku kedelai yang banyak dikonsumsi masyarakat ini semakin kecil seiring melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Pengurangan ukuran itu bukan dari pengelola warung, rumah makan, pasar, atau sebagainya. Tapi sejak dari pengrajin, ukuran tahu dan tempe memang sengaja dikurangi lantaran harga kedelai semakin mahal.

Kedelai yang sebelumnya di kisaran Rp 7.000 - Rp 7.200 perkilogram, belakangan ini naik di kisaran Rp 7.400 - Rp 7.600 perkilogram.

"Kami tidak berani menaikkan harga jual. Yang bisa kami lakukan hanya mengurangi atau mengecilkan ukurannya saja," kata Sariman, perajin tempe di Desa Sepande, Kecamatan Candi, Sidoarjo.

Harga Kedelai Impor Naik, Tempe Jadi Lebih Mini dan Dibonsai

Upaya mengecilkan ukuran itu dianggap paling tepat untuk menyiasati kondisi sekarang ini. Dengan cara itu, produksi mereka tetap bisa berjalan tanpa harus menelan kerugian ketika harga bahan baku utama sedang naik.

Dengan mengurangi volume, Sariman tetap bisa menjual tempe mendoan Rp 1.000 per biji, dan tempe daun kotak Rp 2.000 perbiji. Harga yang sama dengan kondisi sebelum kedelai mahal paska menguatnya dolar.

Demikian pula yang dilakukan perajin tahu di Sepande. "Kalau menaikkan harga, kami khawatir pembeli kabur. Makanya pilih memperkecil ukuran saja," ungkap Farid, perajin tahu di Sepande.

Desa ini memang merupakan sentra perajin tahu dan tempe di Sidoarjo. Selama ini, perajin juga terbilang kompak. Mereka tidak saling banting harga dalam menjalankan usaha.

"Biasanya kalau manikkan harga itu bersama-sama dengan pengrajin lain. Serempak, bersama-sama agar tidak berpengaruh negatif terhadap konsumen," sebut dia.

Temukan ELF, Mahasiswa Unej Sulap Tempe Bisa Bertahan 8 Hari dan Tetap Bergizi Tanpa Bahan Pengawet

Kendati peningkatan harga kedelai sejauh ini masih bisa disiasati dengan menurunkan volume, mereka tetap berharap nilai tukar rupiah kembali normal dan stabil, agar usaha yang mereka lakoni tidak kalang kabut.

Selama ini, mayoritas perajin tahu tempe di Sepande membeli kedelai sebagai bahan baku dari Koperasi Tempe-Tahu (Kopti) Karya Mulya di desa setempat.

Saban hari, koperasi tersebut biasa menyalurkan kedelai sekitar 9 sampai 10 ton kedelai. Mayoritas pembelinya juga para perajin yang menjadi anggota. Jumlahnya ada 278 perajin.

"Kedelainya mayoritas, atau bahkan semua, berasal dari impor. Kami mendatangkan kedelai dari distributor, dan sempat mendatangkan sendiri langsung dari luar negeri," ungkap Sukari, Ketua Kopti Karya Mulya.

Karena itulah, nilai tukar rupiah terhadap dolar sangat berpengaruh terhadap harga kedelai. Yang tentunya, berpengaruh juga terhadap kelangsungan usaha para perajin tahu tempe di sana.

Seharusnya, diceritakan Sukari, sekarang ini harga kedelai waktunya turun. Sebagai dampak dari pembatalan impor kedelai China dari Amerika sejak sekitar empat bulan lalu.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved