Tsunami di Palu
Mantan Wartawan Senior Surya Terjebak di Palu, Alfred Lande: Telat Lima Detik, Nasib Saya Bisa Lain
Sejak kejadian gempa serta disusul gelombang Tsunami di Palu dan Donggala, tim harian Surya sudah berusaha mengontak Pak Ale, namun tidak bisa terhubu
Penulis: Yoni Iskandar | Editor: Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, PALU - Ini adalah kis kisah Alfred Lande atau yang biasa akrab dipanggil Pak Ale.Dia adalah mantan Redaktur Pelaksana (Redpel) Harian Surya. Dia juga senior kami, awalnya kami anggap Pak Ale tinggal di Morowali, tapi entah kenapa, Pak Ale berada di Palu. Yang pasti ada kegitan yang penting yang akan dikerjakan Pak Ale di Palu.
Sejak kejadian gempa serta disusul gelombang Tsunami di Palu dan Donggala, tim harian Surya sudah berusaha mengontak Pak Ale, namun tidak bisa terhubung.
Ternyata, pak Ale juga terjebak di Palu...Berikut kisahnya yang diunggah di FB.
Catatan ini saya baru bisa buat setelah keluar dari kota Palu. Suasana dalam kota sangat menakutkan dan mencekam. Sejak gempa terjadi, listrik dalam kota Palu mati total. Hubungan komunikasi melalui telepon seluler (handphone) juga terputus. Selain itu gempa susulan masih terus terjadi. Perampokan dan penjarahan terjadi siang malam. Sungguh mengerikan.
Saya kini berada di Parigi, daerah yang berbatasan dengan kota Palu. Selain untuk mencari jaringan internet, juga untuk bisa berkomunikasi dengan anak-istri saya di Surabaya, keluarga serta kawan-kawan saya di berbagai penjuru. Keluarga saya baru tahu kalau saya masih hidup setelah tiga hari peristiwa gempa. Kami baru bisa berkomunikasi melalui saluran telepon setelah saya berada di Parigi.
• Ardi Ditemukan Meninggal Dunia, Ketua FASI Masih Memastikan Kebenaran Berita Itu
Ketika terjadi gempa dahsyat yang melanda Kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018), saya berada di Kamar 227 Swiss-Belhotel Palu.
Hotel yang dikelola oleh Swiss-Belhotel Internasional ini merupakan hotel bintang 4 pertama di kota Palu. Hotel ini terletak di bibir pantai. Saat itu saya sekamar dengan pak Raimon Arumpone, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Morowali Utara.
Kami berada di hotel itu untuk mengikuti kegiatan yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilaksanakan di kota Palu, 28 September sampai 1 Oktober 2018. Pesertanya meliputi wilayah Indonesia Timur.
Waktu itu pukul 18.00 Wita. Sebagai peserta sekaligus wartawan, saya sedang mempersiapkan alat-alat liputan seperti tustel, laptop, dan lainnya. Tiga menit kemudian, bencana itu datang.
Hotel bergetar cukup kuat. Semua peralatan dalam ruangan jatuh berantakkan. Secepat itu pula kami melompat ke luar ruangan dan berlari di lorong hotel yang gelap-gulita.
Tak cukup dari satu menit saya sudah tiba di halaman depan hotel. Para tamu lainnya dan karyawan hotel juga berlarian menyelamatkan diri. Tiba-tiba gemuruh ombak menghantam hotel. Beberapa orang berteriak, “lari...lari...tsunami, cepat lari....
• 44 Perantau Asal Jember Berada di Palu dan Donggala Saat Terjadi Gempa, 2 Orang Meninggal Dunia
Puluhan orang berlarian menyelamatkan diri dari halaman hotel. Dalam waktu bersamaan gelombang besar sudah sampai di jalan raya di depan hotel. Kami semua kalangkabut.
Seorang ibu yang tidak bisa lari sempat saya tarik beberapa meter. Saya dan beberapa orang menerobos reruntuhan rumah di depan hotel dan seterusnya lari menyelamatkan diri ke arah dataran tinggi Donggala Kodi. Puluhan orang lainnya berlari ke arah kiri-kanan hotel.
Jika melihat hempasan gelombang tsunami saat itu, saya perkirakan cukup banyak yang menjadi korban jiwa terutama yang lari ke arah sebelah kiri hotel. Bisa dibayangkan kontainer ukuran 40 feet saja bisa terlempar hingga puluhan meter.
Buktinya, pada Sabtu pagi, ditemukan ratusan jenazah sepanjang pinggir pantai dari Swissbel Hotel hingga Pantai Talise.
Jika saya terlambat lima detik saja atau berlari ke arah sebelah kiri hotel, mungkin nasib saya akan terjadi seperti ratusan korban yang bergelimpangan pagi itu.