Sengaja Mainkan Ritual Sakral Tari Caci Agar Tak Lupa Adat Istiadat Selama Hidup di Perantauan
Luka itu diperoleh karyawan perusahaan swasta itu dari sabetan larik atau pecut dari lawannya, saat bermain tari perang khas Flores bernama Tari Caci.
Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Melia Luthfi Husnika
Laporan Wartawan TribunJatim.com, Luhur Pambudi
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA- Luka gores di punggung Isfridus Rabun (32) tampak begitu membekas, berwarna merah kehitaman.
Luka itu diperoleh karyawan perusahaan swasta itu dari sabetan larik atau pecut dari lawannya, saat bermain tari perang khas Flores bernama Tari Caci.
Isfridua mengakui, rasanya sakit. Tapi ia berkilah, hal itu sudah biasa.
"Ini kan adat istiadat kami harus jalani," celetuknya ringan, disusul tawa lebar saat ditemui TribunJatim.com seusai bertanding di Manggarai Festival II yang diadakan IKEMAS, Minggu (6/1/2019).
Tari Caci merupakan seni tari perang khas Flores NTT, yang mempertemukan dua orang pria untuk bertarung.
Namun bagi Isfridus, Tari Caci, bukan cuma sekedar menjadi identitas kesenian warga Flores saja.
Tari Caci adalah ritual sakral, yang harus tetap dilestarikan, kendati sedang hidup di tanah rantauan.
"Jangan sampai Gara-gara diperantauan kami hilang adat istiadat," tegasnya.
Memang disebut sebagai seni tarian perang, namun bukan berarti identik dengan adu pukul, hingga menunggu pihak lawan tersungkur.
• Tampilkan Seni Tari Perang di Manggarai Festival II, IKEMAS: Semoga Bisa Tuntaskan Rindu Perantau
Selama bertarung, keduanya diwajibkan menggunakan alat khusus, berupa Tameng dan Larik atau lazim dikenal pecut.
Selain kedua alat itu, para petarung diwajibkan mengenakan pakaian adat lengkap dari ujung rambut hingga kaki.
Dari kepala, para petarung harus mengenakan Panggal, nama lain dari topi yang dibuat khas menyerupai kepala kerbau.
Dibagian kedua sisi Panggal, terdapat ornamen hiasan yang terbuat dari bulu ekor kuda.
Lalu bagian sisi belakang Panggal terdapat selendang yang tergurai sepanjang bahu, namanya Sapu.