Jelang 11 Tahun Lumpur Lapindo, Kisah yang Sulit Dilupakan, Banyak Kejadian yang Bikin Was-was
Sebagian warga korban pengungsian Lumpur Lapindo masih sulit lupakan kisah di tanah kelahiran.
Penulis: Nur Ika Anisa | Editor: Edwin Fajerial
Laporan Wartawan TribunJatim.com, Nur Ika Anisa
TRIBUNJATIM.COM, SIDOARJO - Korban Lumpur Lapindo sudah memiliki rumah dan lahan kembali.
Tapi, sebagian warga korban pengungsian Lumpur Lapindo masih sulit lupakan kisah di tanah kelahiran.
Hal tersebut dipaparkan tim PKM-PSH (penelitian sosial humaniora) Universitas Brawijaya Malang melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan oleh Kemenristek Dikti.
“Memiliki rumah kembali bukan berarti tandanya kehidupan mereka sudah pulih. Kondisi sosial psikologis warga Renokenongo yang tinggal di Perumahan Renojoyo masih belum stabil, khususnya bagi orang tua dan ibu-ibu,” papar Luayibi anggota tim PKM-PSH kepada TribunJatim.com, Rabu (20/5/2017).
Ada ibu-ibu yang bercerita kerap masih menangis apabila harus mengingat Lumpur Lapindo.
“Saat hujan turun deras, mereka merasa was-was, takut tanggul di Raya Porong akan jebol dan lumpur meluber ke pemukiman baru mereka yang jaraknya tidak terlalu jauh, kurang lebih 4 kilometer,” tambah anggota tim, Gilang Mahadika
Selain itu, meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di lahan Perumahan Renojoyo, Desa Kedungsolo sebagai tempat tingga baru, sebagian warga merasa sulit untuk beradaptasi dengan warga asli.
Apalagi di perumahan itu mereka masih berkumpul dengan sesama warga Renokenongo.
Lain lagi dengan warga Renokenongo yang memilih pindah secara mandiri yang kebetulan juga pindah di Desa Kedungsolo.
“Mau tidak mau mereka harus beradaptasi dan bersosialisasi dengan tetangganya warga asli Kedungsolo,” ujar Helmawati anggota tim.
Sehingga seiring waktu mereka sudah merasa menjadi bagian dari Desa Kedungsolo.
Misalnya yang dialami oleh Daumi dan keluarga besarnya, satu di antara korban Lumpur Lapindo, mengatakan sempat kontrak dua tahun di desa ini dan akhirnya memutuskan untuk membeli pekarangan dan membuat tiga rumah di Desa Kedungsolo untuk anak-anaknya.
"Aku nek dikongkon crito pas masa-masa ninggalno Renokenongo iku mesti sedih. onok Lapindo, lumpur e moro-moro amber nak omah. gupuh kabeh nyelametno barang. Masio oleh ganti rugi akeh, terpukul mbak dadi korban Lapindo (saya kalau disuruh cerita waktu masa-masa meninggalkan Renokenongo itu selalu sedih. Ada Lapindo, lumpurny atiba-tiba masuk rumah. Buru-buru menyelamatkan barang, Meski dapat ganti rugi banyak, terpukul jadi korban Lapindo)," cerita Daumi kepada tim peneliti.
Mempunyai rumah dan lahan kembali, dirasakan sebagai suatu pencapaian yang lebih baik dan menimbulkan kelegaan bagi warga Renokenongo yang tinggal di Renojoyo.
Sayang sekali perasaan lega tersebut kembali terusik.
Pengurusan sertifikat tanah perumahan di akhir tahun 2016 mengalami permasalahan.
Tidak disangka ternyata di tengah-tengah tanah sawah seluas 10 hektar yang dulu mereka beli bersama-sama tersebut terdapat 2,9 hektar tanah TKD (Tanah Kas Desa).
Warga yang rumahnya masuk dalam tanah TKD mulai gelisah, takut rumah mereka akan digusur oleh pengadilan.
“Omahku melbu TKD, ngene ini aku was-was, gak kaup wes gak due duek. Mugo-mugo omah seng melbu TKD gak digusur” (rumah saya masuk TKD, saya was-was karena gak punya uang. Semoga rumah yang masuk TKD tidak digusur),” ujar Mulyadi kepada Tim PKM-PSH (penelitian sosial humaniora) Universitas Brawijaya Malang menirukan ketakutan seorang warga.
Saat penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2017, belum ada kepastian akan bagaimana tindak lanjut mengenai rumah korban Lumpur Lapindo yang masuk dalam TKD di Desa Kedungsolo.
Di perumahan ini hanya dipasang plakat bukti adanya penyitaan tanah perihal adanya permasalahan tanah TKD di kawasan relokasi korban Lumpur Lapindo.
Hal ini juga membuat kondisi sosial mereka terganggu.
Sebab hanya beberapa blok perumahan yang masuk dalan tanah TKD, sehingga ada perasaan iri antara warga yang rumahnya masuk dalam TKD dengan warga yang rumahnya tidak masuk dalam TKD.
“Sehingga ketika masyarakat/kelompok akan melakukan relokasi bersama kiranya harus benar-benar mengecek kelegalan tanah yang akan diperjual belikan,” tambah Miftakhul Iftita, anggota tim.