Mengenang Seribu Hari Wafatnya Mbah Muchith, Diminta Gus Dur Tinggal di Jakarta Tapi Pilih di Jember
Mbah Muchith, ulama sepuh ini wafat di usia 90 tahun, pada 6 September 2015 lalu. Seribu hari wafatnya, semua orang mengenang keteladannya.
Penulis: Erwin Wicaksono | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNJATIM.COM, JEMBER - 6 September 2015 lalu, seorang ulama sepuh Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahcmad Muchith Muzadi, wafat dan dipanggil Ilahi.
Ulama yang akrab dipanggil Mbah Muchith itu wafat dalam usia 90 tahun.
Untuk mengenang kepergian santri KH Hasyim Asyari tersebut, Masjid Sunan Kalijaga Jember yang berada di sekitar kediaman kakak kandung KH Hasyim Muzadi itu, menggelar Tahlil 1000 hari wafatnya KH Ahcmad Muchith Muzadi, bertepatan dengan peringatan Nuzulul Qur'an, Minggu (3/5/2018).
Tahlil tersebut dihadiri KH Azaim Ibrahimy dan KH Afifudin Muhajir dari Situbondo
Sebagai penghormatan terhadap jasa Mbah Muchith, inilah beberapa epilog, prolog dan testimoni dari beberapa tokoh yang berhasil dihimpun dari Takmir Masjid, dan keluarga mendiang KH Ahcmad Muchith Muzadi.
Baca: Bahan Baku dari Perancis dan Jerman, Ustad Asal Lamongan 2 Tahun Bikin Alquran Terbesar di Dunia
Seribu Hari yang Pendek
Oleh Mahfud MD, Menteri Pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid
Sudah 1000 hari yang lalu Kyai Muchith Muzadi wafat. 1000 hari
kepergian beliau bisa dibilang sudah lama dan bisa dibilang baru
kemarin malam. 1000 hari tersebut bisa terasa lama karena berarti
memang selama itulah kita tidak berjumpa untuk mendengar dan melihat
langsung nasrhat dan perilaku beliau yang sangat arif dan bijaksana.
Tapi 1000 hari wafatnya Kyai Muchith itu bisa dibilang pendek dan
terasa baru tadi malam karena perilaku dan nasehat-nasehat beliau
masih terus memandu kita sampai hari ini. Rasanya beliau, dengan
kelembutannya, masih bersama kita sekarang. Itulah makna firman Allah,
“Walaa taquuluu liman yuqtalu fii sabiilillahi amwaat bal ahyaa”,
Jangan kalian kira mereka yang mati di jalan Allah (selalu bertaqwa)
itu mati, sebab sesungguhnya mereka masih hidup. Jazad Kyai Muchith
sudah tidak ada karena beliau sudah wafat, tetapi ucapan dan contoh
perilakunya yang penuh akhlaq mulia masih bersama kita sampai
sekarang. Saya beruntung pernah dekat dengan Kyai Muchith karena dari
beliaulah saya juga belajar bersikap bijaksana dalam menghadapi setiap
permasalahan. Insyaallah beliau diberi surga oleh Allah,"
Baca: Qibtiyah Pulang ke Jember Setelah 28 Tahun Hilang di Saudi, Anaknya Lupa si Ibu Malah Keceplosan
Mbah Muchith, Santri Saklawase
Oleh Nur Hidayat, Humas Pesantren Tebuireng - Ketua Cabang IPNU Jember 1994-1996
Kiai Abdul Muhith Muzadi adalah sosok santri-kiai par excellence.
Sebagai kiai, beliau selalu berusaha melihat berbagai persoalan dengan
pendekatan solutif. Hal yang rumit dijadikan sederhana. Hal yang sulit
dicarikan jalan keluarnya. Meski demikian, karakter santri masih
melekat kuat dalam diri beliau hingga akhir hayatnya. Tetap tawadhu'
dan sederhana, meski sudah menjadi figur yang dijadikan panutan di
mana-mana.
Pada 2011, saya sowan beliau untuk mengantarkan undangan pernikahan
putri KH. Abdul Hakim Mahfudz (sekarang Wakil Pengasuh Pesantren
Tebuireng). Setelah saya jelaskan bahwa undangan tersebut berasal dari
salah satu putra KH. Mahfudz Anwar Seblak, dengan mata berkaca-kaca
beliau dawuh, "Kiai Mahfudz itu guru idola saya. Lha, saya ini siapa,
kok sampai putra guru saya masih ingat dan mau mengundang di
pernikahan anaknya?"
Begitulah Mbah Mucith, disamping kita kenal sebagai seorang kiai
ternyata beliau adalah seorang santri yang dikenang oleh gurunya
bahkan oleh putra gurunya. Mbah Muchith tetap seorang santri meski
telah menjadi kyai, santri saklawase,"
Baca: Lorenzo Pecah Telur Bareng Ducati, Podium Rossi di MotoGP Italia Disambut Bagai Raja
Anak Lanang & Anak Wedok
Oleh Moh. Subhan, Wakil Ketua LTN PBNU
Sungguh sebuah kehormatan yang luar biasa bila saya diberi kesempatan
untuk turut memberi kata pamungkas dalam buku Yasin dan Tahlil ini.
Bukan apa-apa, pertama karena saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah
orang biasa-biasa saja. Bukan tokoh. Bukan orang penting.
Syukur alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat
yang diberikan kepada saya. Salah satu kenikmatan yang selalu saya
syukuri dan sampai sekarang tidak pernah saya lupakan adalah dapat
berhubungan batin dalam waktu cukup lama dengan almarhum KH Abdul
Muchith Muzadi.
Kedekatan hubungan batin kami dapat digambarkan dari
kalimat putra-putri beliau manakala kami membezuk beliau saat sedang
sakit. Biasanya mereka menggoda, “Lha.. iki anak lanange teko…!” (Ini
anak lanang nya datang - red) lalu mereka meninggalkan kami berdua.
Baca: 7 Dokumen Penting dari Komputer Osama bin Laden Dirilis CIA, Nomor 2 Isinya Lucu Banget
Biasanya saya menerima pesanan tugas dari mereka untuk menghibur dan
merayu mbah Muchih agar kerso dahar dan beristirahat sejenak dari
berpikir yang berat-berat, dan itu hampir selalu tentang NU.
Dalam kesempatan lain, mereka sempat berkelakar bahwa Mbah Muchith
masih punya dua anak lagi, selain dari kedelapan anaknya yang selama
ini saya kenal. Lho, siapa kedua anak itu? Kok saya tidak pernah
tahu dan tidak penah kenal. Ternyata kedua anak itu adalah saya
sendiri, yang dijuluki sebagai anak lanang; dan Ibu Khofifah Indar
Parawansa sebagai anak wedok.
Meski saya tahu itu hanya sebuah kelakar, namun tetap saja membuat
saya senang. Karena inilah kehormatan kedua, telah dianggap sebagai
bagian Keluarga Besar mbah Muchith, dan kehormatan ketiga saya
disejajarkan dengan Ibu Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum PP
Muslimat NU yang juga Calon Gubernur Jawa Timur. Arti lain dari
kelakar ini adalah hubungan batin kami sudah masuk sedemikian dalam.
Dan kini, bertambahlah kehormatan saya dari putera-puteri mbah
Muchith, karena dalam buku ini saya disejajarkan dengan Prof. Mahfudz
MD yang pernah menjadi Ketua MK dan Menteri Pertahanan jaman Presiden
Gus Dur.
Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari Mbah Muchith. Terutama
yang kaitan dengan menata hati dan berkhidmat dalam perjuangan. Dalam
kekecewaan yang mendalam, biasanya beliaulah yang mengarahkan saya.
Berkali-kali saya mengucap syukur kepada Allah SWT telah dipertemukan
dengan guru sekaliber Mbah Muchith.
Saya pernah merasakan kualitas seorang Mbah Muchith dalam proses
penulisan buku Antologi NU jilid pertama. Kala itu tidak ada dana sama
sekali; dan saya belum banyak kenal para tokoh yang harus saya
hubungi. Padahal mereka tinggal di berbagai pelosok Jakarta, Bogor,
Bekasi, Blitar, Surabaya, dlsb, yang jelas butuh banyak dana. Ternyata
semua itu dapat teratasi dengan kalimat ‘salam dari Mbah Muchith’
Jember dan buku yang diidamkan itupun akhirnya dapat terbit yang
sampai saat ini sudah jilid kedua.
Waakhiran, selain mengucap syukur, marilah kita mendo’akan beliau
almarhum Mbah Muchith Muzadi. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi
wa’fuanhu. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa beliau, menyayangi
beliau, dan menempatkan beliau di tempat mulia di sisi-Nya.
Amin,"
Baca: Hati-hati, Penipuan SMS Mengatasnamakan BPJS Ketenagakerjaan Kian Marak
KH Abdul Muchith, Konseptor Sekaligus Insipirator
Oleh Misbahussalam, Ketua Baznas Kabupaten Jember
"Sudah 1000 hari lamanya Alm KH Abdul Muchith Muzadi wafat,
meninggalkan kita terutama santri santri beliau. Bagi kami Kyai
Muchith bukan hanya guru yang telah memberi ilmu,
beliau sosok tokoh yang patut jadi suri tauladan dalam berfikir dan bersikap.
Bahkan Kyai Muchith pernah diminta oleh Gus Dur agar berdomisili di
Jakarta. Namun Kyai Muchith memilih tinggal di Jember.
Ketika KH Achmad Shiddiq menjadi Rais Am Syuriyah PBNU yang saat itu
dituntut untuk membuat rumusan konseptual mengenai Aswaja, menuntaskan
hubungan Islam dengan negara dan mencari rumusan pembaruan pemikiran
Islam, serta strategi pengembangan masyarakat NU, maka KH Achmad
Shidiq semakin membutuhkan pikiran Kyai Muchit. Karenanya ia diangkat
sebagai sekretaris yang sekaligus penasehat pribadinya.
Baca: Ini Daftar Lengkap 20 Korban Kebakaran Maut Kos Kebalen Kulon, RS Tempat Dirawat dan Kronologinya
Dengan dibantu Kyai Muchit, maka langkah Kiai Ahmad (panggilan KH
Ahmad Shiddiq) mampu mengimbangi gerak pembaharuan yang dilakukan oleh
Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wachid (Gus Dur), sehingga dalam waktu
singkat NU menjadi organisasi yang sangat maju, dan berperan besar
baik dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan termasuk kenegaraan.
Sukses duet Gus Dur dan Kiai Achmad ini tidak bisa lepas dari pikiran
kreatif Kyai Muchith Muzadi yang menjaga “dapur” pemikiran Kiai Achmad.
Di Jember Kyai Muchith tetap ngajar dan baca kitab di Masjid Sunan
Kalijogo serta istiqamah menyampaikan pengajian setiap malam selasa
kliwon di Kantor PCNU Jember.
Kyai Muchith sosok Kyai yang sederhana, dan jadi inspirator bagi
kalangan akademisi untuk membuat tulisan tentang ke NU an, keagamaan,
kebangsaan dan kenegaraan baik dari sisi ajaran, sosial dan politik.
Beberapa peneliti baik dari dalam dan luar negeri datang , sowan ke
Kyai Muchith untuk wawancara.
Beliau selalu menerima dan melayani
dengan akrab dan kekeluargaan. KH. Hasyim Muzadi selaku adik kandung
Kyai Muchith yang menjabat ketua Umum PBNU dua periode bila ada masalah
sulit terkait NU selalu konsultasi pada Kyai Muhith, disamping beliau
santri dari KH. Hasyim Asy'ari yang banyak tau tentang NU.
Dengan rujukan pemikiran Kyai Muchith, terutama isi Khittah NU KH.
Hasyim Muzadi dapat memimpin NU dengan sukses dan dikagumi serta
dihormati oleh dunia nasional maupun internasional," (Surya/Erwin Wicaksono)