Evaluasi Sistem PPDB, FPP Jatim Sebut Penerapan Zonasi Harus Perhatikan Soal Pemerataan Sekolah
Pelaksanaan sistem zonasi dalam PPDB Jawa Timur sempat membuat banyak permasalahan di sejumlah daerah. Termasuk di Jawa Timur.
Penulis: Fatimatuz Zahroh | Editor: Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Pelaksanaan sistem zonasi dalam PPDB Jawa Timur sempat membuat banyak permasalahan di sejumlah daerah. Termasuk di Jawa Timur.
Seperti diketahui, sistem zonasi dalam PPDB 2019 diatur dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018.
Permendikbud tersebut mengatur agar PPDB yang dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota untuk pendidikan dasar, maupun pemerintah provinsi untuk pendidikan menengah.
Sistem PPDB 2019 wajib menggunakan tiga jalur, yakni jalur zonasi (paling sedikit 90 persen), jalur prestasi (paling banyak lima persen), dan jalur perpindahan orang tua/wali (paling banyak lima persen).
Usai selesai diselenggarakan di Jawa Timur, sistem PPDB zonasi mendapatkan evaluasi Forum Pemerhati Pendidikan (FPP) Jatim. FPP Jatim menganggap bahwa ada sejumlah hal yang patut menjadi evaluasi PPDB ke depan.
"Sebenarnya tujuan penerapan zonasi ini bagus. Mengapa? Karena untuk pemerataan pendidikan di Indonesia. Agar tidak ada kesenjangan hak memperoleh pendidikan," ungkap Rasiyo, koordinator FPP Jatim kepada Tribunjatim.com, Jumat (28/6/2019).
• Kiai Sepuh Jatim Sambut Baik Pernyataan Jokowi dan Prabowo Paska Keputusan MK
• Curhatan Orangtua Siswa Tak Lolos PPDB Zonasi, Akui Kecewa hingga Berharap Masih Dapat Kesempatan
• Keputusan MK Final dan Mengikat, GM FKPPI Jatim Berharap Tak Perlu Ada Perdebatan Pilpres Lagi
Namun, menurutnya, penerapan zonasi dalam PPDB tersebut tidak serentak dan serta merta seperti sekarang ini. Pemerintah harusnya memperhatikan topografi Indonesia.
Juga, ketersediaan sarana dan prasarana di daerah. Kalau semua daerah di Indonesia disamaratakan, akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dan adapula yang diuntungkan.
"Imbasnya bagi mereka yang merasa dirugikan pasti akan protes, ya akhirnya demo seperti di Grahadi kemarin," ungkap pria yang pernah menjabat Kepala Dinas Pendidikan Jatim era Gubernur Imam Utomo ini.
Rasiyo mengurai polemik PPDB ini sebenarnya bisa dicegah jika sejak awal Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim memberikan masukan pada pemerintah pusat.
Dindik Jatim sebagai pemegang wilayah mengetahui secara detail sarana dan prasarana dalam pelaksanaan PPDB dengan sistem zonasi. Diantaranya persebaran dan jumlah sekolah negeri dan swasta yang ada di daerah.
Persebaran sekolah yang dikatakan Rasiyo seperti persebaran Sekolah Dasar (SD) di era Orde Baru dimana di setiap desa harus ada minimal satu SD Negeri.
"Persebaran sekolah ini berbeda dengan sekolah di jenjang berikutnya. SMP biasanya ada di Kecamatan, kemudian SMA lebih jarang lagi, tidak mesti di kecamatan itu ada SMA nya. Surabaya saja contohnya, SMA nya kebanyakan tersentral," jelasnya.
Ia mengusulkan jikapun diberlakukan zonasi dalam PPDB, tidak secara serta merta. Akan lebih tertata jika membuat sample daerah yang dinilai siap untuk penerapan zonasi.
Kesiapan itu dilihat dari persebaran sekolah dan perbandingan jumlah sekolah dengan lulusan. Nah, daerah ini bisa dijadikan pilot project atau percontohan penerapan PPDB bersistem zonasi yang kemudian dikembangkan dan diberlakukan di daerah lain.
Senada dengan Rasiyo, anggota FPP Jatim Ardo Sahak juga mengutarakan pendapatnya tentang solusi untuk polemic zonasi. Ardo mengatakan bahwa PPDB dengan sistem zonasi ini tujuannya baik.
Agar tidak ada kesenjangan hak untuk mendapatkan pendidikan di masyarakat. Akan tetapi, untuk penerapannya diperlukan persiapan yang benar-benar matang. Mengingat bahwa daerah satu dengan lainnya memiliki topografiyang berbeda dalam penerapan zonasi tersebut.
Lebih lanjut Ardo menjelaskan, merupakan tugas dari Dinas Pendidikan Provinsi Jatim untuk memberikan masukan tentang keadaan wilayahnya untuk melaksanakan PPDB sistem zonasi.
Tentu saja masukan tersebut sebelumnya telah dibahas bersama para praktisi di bidang pendidikan Jatim, misalnya para Pemerhati pendidikan, tokoh dari Universitas-universitas serta mantan Kepala Dinas Jatim.
"Usulan itu nanti sampaikan ke pusat, bisa diskusikan dulu dengan dirjen, sampai kemudian dengan menteri," terangnya.
Ardo yakin, pemerintah melalui Kemendikbud, tidak mengabaikan kondisi yang ada, baik itu kondisi siswa didik, orang tua, maupun kondisi sekolah negeri yang ada. Melihat kondisi ini, seharusnya Kemendikbud mengkaji kembali penerapan sistem zonasi.
"Di Surabaya ini contohnya. SMA Negeri lokasinya masih tersentral di pusat kota, di wilayah komplek kalau kita menyebutnya. Kalau Zonasi ini harus mutlak diberlakukan, hasilnya seperti kemarin. Banyak orang tua yang protes hingga akhirnya buka tutup PPDB dalam waktu kurang dari satu hari," lanjut pemilik Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pendidikan Emerald, Sidoarjo ini.
PPDB sistem zonasi, lanjutnya, harus diperbaiki dan disempurnakan agar tidak merugikan berbagai pihak. Ketersediaan sekolah-sekolah harus juga dibarengi dengan pemenuhan fasilitas sarana dan prasarana yang layak.
Pada akhirnya, para orang tua dan siswa didik pun tidak akan berebut mendaftar masuk sekolah negeri tertentu karena semua sekolah memiliki standart yang sama.
Dengan terbatasnya sekolah Negeri, maka kemungkinan akan banyak anak yang tidak tertampung juga sangat besar. Terutama pada siswa yang rumahnya jauh dari zona sekolah atau tidak ada sekolah negeri di wilayah tempat tinggalnya. Padahal nilai Ujian Nasional (UN) mereka sangat memungkinkan untuk mendapatkan sekolah negeri.
"Kalau sudah standard semua, zonasi bisa mutlak diberlakukan. Kalau sekarang ini, seharusnya pemerintah melakukan pemetaan wilayah dulu untuk penerapannya. Bisa juga dengan sample, di cari daerah yang sudah siap untuk dijadikan pilot project pemberlakuan zonasi," tandasnya.(Fatimatuz zahroh/Tribunjatim.com)