Khofifah dan Ganjar Wanti Soal Penyebaran Nilai Radikalisme di Kalangan Pelajar Generasi Z
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa saat menjadi narasumber acara Halaqoh Kiai Santri Tentang Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Jateng
Penulis: Fatimatuz Zahroh | Editor: Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, SALATIGA - Penguatan nilai kebangsaan dan anti radikalisme harus dipupuk sejak dini dengan partisipasi oleh seluruh elemen. Lebih dari itu seluruh masyarakat harus menjadi elemen pengawas akan adanya penyebaran nilai-nilai radiklaisme dan terorisme.
Hal itu menjadi pokok hal yang dipesankan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa saat menjadi narasumber acara Halaqoh Kiai Santri Tentang Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Jawa Tengah, di Hotel Grand Wahid, Kota Salatiga, Sabtu (14/9/2019).
Ia mengajak seluruh pihak dan masyarakat untuk melibatkan generasi Z dalam berbagai konsolidasi kebangsaan baik secara ideologis, pemikiran maupun gerakan.
Hal ini untuk menghindari adanya potensi kristalisasi politik identitas di kalangan generasi muda yang beresiko terhadap munculnya pemimpin yang eksklusif.
Menurutnya, hal inilah yang dapat menyebabkan tumbuhnya embrio disharmoni dan kecenderungannya makin menguat di kalangan pemuda khususnya para siswa dan mahasiswa.
• Tergiur Untung Bisnis Electronik, Warga Demangan Lamongan Kehilangan Uang Rp 23 Juta
• Polisi Selidiki Dugaan Kasus Keracunan Massal Santriwati di Blitar, Pentol Bakso Diuji di Lab
• Markas Masih Direnovasi, Persipura akan Jamu Persela Lamongan di Stadion Gelora Deltra Sidoarjo
"Data ini diperkuat berdasarkan survey dari UIN Syarif Hidayatullah yang menunjukkan pengaruh intoleransi dan radikalisme mulai menjalar ke banyak sekolah dan universitas di Indonesia serta survei LIPI tetkait kecenderungan politik identitas terutama di kalangan berpendidikan tinggi," ungkap Khofifah sapaan akrab Gubernur Jatim saat menjadi pembicara pada
Khofifah menambahkan, berdasarkan survey tersebut juga bisa disimpulkan bahwa guru dan dosen juga memiliki potensi tumbuhnya disharmoni dan intoleransi.
Oleh sebab itu, para guru maupun dosen juga harus mulai membuka kembali sejarah bagaimana para founding fathers memikirkan berdirinya negara ini, dasar negara serta menjaga keseimbangan antar elemen masyarakat yang berbeda suku, agama dan bahasa agar tetap bersatu.
Dicontohkan, salah satunya yaitu tentang referensi penting dalam kehidupan persaudaraan kebangsaan oleh Presiden Pertama RI Soekarno maupun oleh Presiden RI ke-4 KH. Abdurrahman Wahid atau yang lekat disapa Gus Dur.
Selain itu, terhadap sejarah Pancasila dimana semua perdebatan anggota BPUPKI dalam merumuskan falsafah dasar negara terekam dalam sebuah dokumen yang menandakan kebesaran jiwa dan kearifan para pendiri bangsa.
"Sejarah kebangsaan ini harus kita sebarluaskan dan disosialisasikan kepada guru-guru di tiap sekolah. Sejarah ini juga bisa menjadi referensi penting bahwa dasar ontologis Pancasila bisa menjadi titik tumpu, titik temu dan titik tuju dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," urai gubernur perempuan pertama di Jatim ini.
Selain adanya kristalisasi politik identitas, konflik yang berakar pada aspek sosial budaya juga tetap berpotensi muncul akibat dinamika ideologi , politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam diantara keberagaman warga bangsa.
Karenanya berbagai ikhtiar harus terus dilakukan untuk membangun kehidupan yang penuh harmoni.
"Survei kedua lembaga tadi menunjukkan bahwa sebagian generasi kita pola pikir dan gerakannya relatif eksklusif bukan inklusif, oleh sebab itu Jatim dan Jateng harus sering bertemu untuk membahas masalah ini dan selalu waspada karena embrionya sudah nampak," terang Mantan Menteri Sosial ini.
Untuk menumbuhkan optimisme, Khofifah juga menegaskan pada semua yang hadir bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia terus membaik.