3 Kasus Krusial Kekerasan Anak Indonesia, Eksploitasi Seksual di Sektor Wisata hingga Radikalisme
Isu mengenai kekerasan pada perempuan dan anak-anak sedang marak. Mulai dari eksploitasi seksual di tempat wisata hingga radikalisme.
Penulis: Melia Luthfi Husnika | Editor: Arie Noer Rachmawati
Namun, menurut Yuliati jika kepercayaan terhadap pendidikan dan agama tersebut hilang, keduanya akan menjadi hal yang paling dihindari oleh anak.
• Perjuangan Zaskia-Irwansyah Ikut Program Bayi Tabung, Tak Sabar Tunggu Setelah Lebaran: Istikharah
Hal ini, menurutnya dipengaruhi oleh kemampuan orang tua dalam pengasuhan.
Yuliati Umrah juga menyoroti perilaku orang tua yang seakan acuh pada anaknya setelah masuk ke instansi pendidikan atau agama.
Mereka dinilai tidak melakukan pengawasan dan pendekatan secara baik pada anak hingga terjadi kasus-kasus kekerasan.

"Sebagai orang tua harusnya tetap mengawasi anak dan perilakunya di sekolah. Jangan memberikan wewenang 100 persen pada guru untuk mendidik anaknya. Mereka (prang tua) berhak tau apa yang dilakukan anak selama mengenyam pendidikan di sekolah, tugas apa yang diberikan guru, serta kegiatan anak selama di sekolah," ujarnya.
Menurutnya, dengan pengawasan primer yang selalu dilakukan orang tua, anak akan terhindar dari perilaku kekerasan di sekolah maupun instansi lain.
Karena, anak akan semakin terbuka pada orang tua ketika terjadi sesuatu.
• Cerita Pilu Keluarga, Pengantin Sejenis Nyamar, Penghulu Syok Pasca Ijab Kabul, ‘Sudah Nikah Sehari’
Yuliati Umrah menuturkan, perilaku yang terjadi saat ini cenderung menutupi kekerasan atau perlakukan tidak menyenangkan yang terjadi.
"Alih-alih melaporkan perbuatan menyimpang, anak justru dibuat bungkam oleh kebijakan sekolah atau instansi yang berkedok ingin menjaga nama baik. Kalau sudah begini, anak menjadi korban. Karena orang tua tidak tahu dan anak takut untuk mengatakan," tutur Yuliati.
Kasus ketiga, Yuliati Umrah memaparkan mengenai kasus radikalisme dan ekstrimisme yang terjadi di ruang pendidikan.

"Tercatat pada 2019 lalu, bahwa 52 persen siswa Indonesia dari SD-SMA terpapar paham radikalisme. Bagaimana cara mereduksinya, itu yang paling penting. Karena awal masalah ini adalah kasus seperti bullying, body shaming, diskriminasi yang sering terjadi di semua sekolah," jelas dia.
Untuk merespons ketiga permasalah utama tersebut, Yuliati Umrah bersama koalisi berharap para ibu dan para perempuan yang punya kewenangan pengasuhan yang legal lebih banyak melakukan monitor.
"Jadi tidak percaya begitu saja dan menyerahkan begitu saja pada institusi pendidikan maupun agam. Boleh tetap disekolahkan tapi tetap monitor dengan sering berdialog dengan pihak sekolah. Jadi tidak membuat keputusan sekolah adalah keputusan seumur hidup untuk anak," pungkasnya.
Penulis: Melia Lutfhi Husnika
Editor: Arie Noer Rachmawati