Cerita Pengusaha Konveksi yang Nasibnya Tak Menentu Akibat PSBB Surabaya: Bantu Kami
Penerapan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB Surabaya jilid II sudah berjalan. Kondisi tersebut kian menambah keretakan perekonomian
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Penerapan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB Surabaya jilid II sudah berjalan. Kondisi tersebut kian menambah keretakan perekonomian di Surabaya.
Imbas keterpurukan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat kecil. Melainkan dari sisi UMKM dan penyedia transportasi publik.
Meski beberapa pengusaha bertahan dengan memenuhi kewajiban terhadap pekerja, tak menjadi jaminan kondisi usaha tetap stabil.
Beberapa di antaranya bahkan diminta untuk melakukan rapid tes secara mandiri. Hal tersebut dialami oleh Purnomosidi Wibowo.
Pengusaha konveksi menengah di Surabaya ini mengakui pemasukan di perusahaannya sudah mencapai ambang batas eleminasi. Keuntungan yang didapat terjun bebas dari 80 persen menjadi 30 persen.
• China Meradang & Tantang Prancis, Minta Kontrak Senjata dengan Taiwan Dibatalkan, Lihat Ancamannya!
’’Saya mencoba bertahan, dan sampai saat ini tidak ada karyawan yang saya rumahkan. Mereka tetap digaji dan sudah dianggarkan untuk mendapat THR,’’ katanya.
Kondisi tersebut membuatnya harus bernafas panjang. Terlebih, perusahaan yang dirintisnya sejak delapan tahun belakangan diminta oleh Pemkot melakukan rapid test dan swab test PCR secara mandiri untuk 80 pegawainya.
Surat bernomor : 443/18005/436.7.2/2020 tertanggal 5 Mei 2020 ini ditandatangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, drg. Febria Rachmanita. Isinya, memberitahukan kepada seluruh pemilik pabrik dan perusahaan Se-Surabaya memfasilitasi rapid tes kepada seluruh karyawan.
Alasannya, untuk mendeteksi adanya penularan virus Corona di tempat usaha mereka. Padahal harga rapid test di Kota Surabaya ya tidak semurah yang dibayangkan. sekitar Rp 300 – Rp 500 ribu sekali tes.
’’Tolonglah bantu kami. Kewajiban sudah kami penuhi termasuk THR. Jangan kami perlahan dimatikan dengan kondisi seperti ini,’’ terang alumnus Universitas Kristen Petra Surabaya ini.
Ia dan beberapa pengusaha lain yang bernasib sama mendapat surat permintaan rapid test dan swab test PCR mandiri dari Dinas Kesehatan Surabaya.
’’Mungkin pengusaha lain juga sama. Awalnya saya khawatir kalau bicara begini nanti usaha saya dipersulit. Tapi mau bagaimana lagi, kami juga menjerit jika tidak ada kepedulian dari Pemkot,’’ terang Purnomosidi.
Keresahan Purnomo dari sisi pemilik usaha tidak jauh beda dengan yang dialami oleh penyedia transportasi publik. Kondisi PSBB Jilid I membuat banyak Lyn harus memarkirkan kendaraan mereka.
Kondisi tersebut diakui oleh Ketua DPC Organda Surabaya, Sonhaji Ilahoh. Ia berharap dengan diperbolehkannya kembali transportasi publik beroperasi di masa perpanjangan PSBB bukan sebagai akal-akalan pemerintah.
Berdasarkan evaluasi Organda Surabaya di masa PSBB pertama, kondisi perekonomian pelaku usaha transportasi sudah terlilit dan terjepit kondisi ekonomi.