'Kebahagiaan' di Balik Kekacauan Besar di Amerika Serikat, Dirayakan 4 Negara, Lihat yang Dilakukan
Di balik kekacauan yang terjadi dengan Amerika Serikat siapa yang sangka ada 4 negara lain yang begitu bahagia merayakan keterpurukannya.
Penulis: Ignatia | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM - Media sosial dipenuhi dengan beragam informasi soal kekacauan yang sedang terjadi di Amerika Serikat.
Amerika Serikat kini menjadi perhatian karena sistem pemerintahan dan politiknya yang tengah diguncang isu rasisme hingga demonstrasi besar terjadi.
Kekacauan besar di Amerika Serikat tidak hanya seputar demonstrasi kemarahan warga akan kematian pria berkulit hitam bernama George Floyd.
Tetapi Amerika Serikat juga sebenarnya sedang berjibaku menghadapi masalah pandemi Covid-19 yang sama dialami banyak negara lain di dunia, termasuk Indonesia.
• Amarah Amerika Serikat Dibuat Kesal China Wacana Bom Nuklir Tak Main-main, Ketegangan Dunia Memuncak
• Bocor Isi Telpon Donald Trump & Vladimir saat Dunia Memanas, 3 Hal Krusial Dibahas, Termasuk Militer
Tapi tahukah anda, bahwa di balik kekacauan Amerika Serikat sekarang, ternyata ada kebahagiaan yang dirasakan.
Kebahagiaan itu dirasakan oleh empat negara besar lain yang saat ini turut memiliki hubungan panas dengan AS.
Negara yang dipimpin Donald Trump itu menjadi bahan perbincangan empat negara lain yang sejak dulu memiliki atensi panas dengan AS.

Dikutip TribunJatim.com dari laporan terbaru NBCNews via Kontan, tiga negara yang 'bahagia' di atas penderitaan Amerika Serikat antara lain, China, Rusia dan Iran.
China, Rusia dan Iran menggunakan media yang disponsori negara untuk menyerang AS atas pembunuhan George Floyd dan kerusuhan sipil yang terjadi.
Menurut sebuah laporan yang dirilis Rabu (3/6/2020) oleh sebuah perusahaan swasta, tidak ada bukti adanya operasi pengaruh online yang mirip dengan campur tangan Rusia dalam kampanye presiden 2016.
"Musuh AS menggunakan gejolak di media tradisional dan sosial dengan menggunakan narasi mereka yang sedemikian rupa," demikian bunyi laporan oleh Graphika, yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisis volume besar lalu lintas media sosial, seperti yang dikutip dari NBCNews.

Ketiga negara menggunakan kehadiran editorial online mereka yang substansial untuk mengkritik pembunuhan Floyd, reaksi polisi terhadap protes, dan Presiden Donald Trump.
Akan tetapi, menurut laporan itu, tujuan mereka tampaknya berbeda.
“Tujuan utama Tiongkok tampaknya adalah untuk mendiskreditkan AS atas tindakan keras Tiongkok terhadap Hong Kong."
"Tujuan utama Iran tampaknya adalah untuk mendiskreditkan AS terhadap catatan hak asasi manusia Iran dan untuk menyerang sanksi AS," kata laporan tersebut.

Sedangkan yang dilakukan Rusia cukup berbeda.
“Media-media yang dikendalikan oleh Rusia sebagian besar terfokus pada fakta-fakta aksi protes, sejalan dengan praktik yang sudah berlangsung lama dalam meliput unjuk rasa di Barat; beberapa konten editorial individual juga menyerang kritikus Kremlin dan media arus utama."
"Malam ini, aktivitas media sosial tentang # protes & reaksi balasan dari akun media sosial terkait dengan setidaknya 3 musuh asing. Mereka tidak membuat divisi ini. Tapi mereka aktif memicu & mempromosikan kekerasan & konfrontasi dari berbagai sudut." tulis pemberitaan dikutip dari NBCNews Live.
Amerika Serikat memang sedang begitu kacau karena berbagai gelombang protes yang dilakukan untuk menyuarakan aksi brutalisme oknum polisi.
• Laporan Agen Rahasia, Trump Sembunyi dari Demonstran, Lakukan Ini di Bunker Khusus Gedung Putih
Oknum polisi itu menewaskan seorang pria berkulit hitam yang kala itu tak bersenjata dan lehernya dicekik dengan kaki hingga tewas.
Kekacauan disertai kerusuhan yang terjadi di Amerika Serikat menjadi perhatian dunia.
Jerusalem Post memberitakan, sejumlah negara tampak 'happy' dengan kejadian tersebut.
Pada hari Senin (1/6/2020), misalnya, media Iran banyak memberitakan sejumlah kisah yang menyoroti "keruntuhan" AS dengan mengutip sumber-sumber dari Rusia.
Mengutip Jerusalem Post, AS menjadi negara paling kuat di dunia setelah Uni Soviet dan negara-negara sekutunya hancur berantakan pada tahun 1989.

Namun, Rusia, China, Iran, dan Turki berusaha untuk bekerja sama lebih erat dan sering duduk di forum global yang tidak dihadiri AS.
Disebutkan, demi mengoordinasikan upaya melawan AS, negara-negara ini memiliki media pemerintah yang didanai dengan baik, seperti RT, TRT, Tasnim and Fars News Iran dan sejumlah media Tiongkok.
Kebijakan negara-negara ini adalah perlahan-lahan merusak AS dan menunggu saat-saat kelemahan AS untuk mendorong agenda mereka.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan pernyataan baru-baru ini terkait kerusuhan di AS, dengan mengatakan bahwa Amerika adalah bagian dari "tatanan yang tidak adil" di dunia.

Mantan presiden Iran membuat komentar serupa tentang tatanan AS yang terus menurun.
Ini merupakan referensi ke konsep poros perlawanan di Iran, dan kekalahan arogansi AS.
Saat ini, aksi protes di AS dan krisis Covid-19 telah menyebabkan situasi di Washington menurun dengan cepat.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa AS sekarang harus berurusan dengan kesalahan polisi dan membanding-bandingkan AS dengan Rusia.
"Syukurlah, hal-hal yang terjadi di Amerika tidak terjadi di Rusia," katanya seperti yang ditulis media TASS Rusia.
Artikel di atas telah tayang di Kontan.co.id dalam judul Iran, Rusia, China, Turki merayakan kekacauan di Amerika