Petani Jeruk di Malang Panen Malah Dituduh Mencuri, Bumdes Tak Mau Ketemu, 'Itu Hasil Keringat Saya'
Petani jeruk Desa Selorejo dituduh mencuri saat panen. Ketua Kelompok Tani Sumberrejeki ungkap Bumdes dan Pak Kades seolah tak mau ketemu.
Penulis: Erwin Wicaksono | Editor: Hefty Suud
TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Pilunya nasib petani jeruk Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang terancam hukuman pidana.
Mereka telah dituduh melakukan pencurian buah jeruk yang mereka tanam di atas lahan sendiri.
"Saya datang ke kantor polisi hari Sabtu kemarin ini (18/7/2020). Ada 10 orang dipanggil ke Polres Malang termasuk saya, atas tuduhan pencurian jeruk," ujar Ketua Kelompok Tani Sumberrejeki, Purwati saat ditemui di rumahnya, Selasa (22/7/2020).
• Pemkot dan KPU Surabaya Teken Addendum NPHD Pilkada 2020, Anggaran Rp 101,24 M Turun 2 Tahap
• Polres Bangkalan Beber 9 Kasus Kejahatan Seksual, 3 Tersangka Masih Anak-anak: Sering Nonton
Diketahui, laporan itu dilayangkan oleh Edi Sumarno pada 13 Juli 2020.
Edi diketahui menjabat sebagai Sekretaris Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) Dewarejo, Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.
Purwati merasa heran dan mempertanyakan alasan logis dirinya bersama rekan petani jeruk bisa dituduh mencuri, lalu dilaporkan ke Polres Malang.
• DPRD Sepakat Berhentikan Bupati Jember Faida, Pendapat Bakal Dilanjutkan ke Mahkamah Agung
• Mahmoud Eid Kagum Jersey Persebaya-nya Terpajang di Supermarket Swedia
"Saya memetik buahnya karena waktunya panen. Itu hasil keringat saya sendiri, kami sudah merawat pohon itu sejak bibit. Lalu kami kok dilaporkan katanya warga yang mencuri," keluh Purwati.
Padahal pohon jeruk itu ia rawat sejak tahun 2010. Purwati bersama ratusan petani di Desa Selorejo kala itu mendapat bantuan bibit pohon jeruk dari pemerintah.
"Lalu tanah itu kini masih hak saya. Karena masih pada masa sewa," ujar wanita yang sudah menjadi petani sejak tahun 1987 itu.
Purwati mengaku telah membayar sewa lahan kepada Pemerintah Desa Selorejo sebesar Rp 3,5 juta pada tahun 2019. Sedangkan masa jatuh tempo sewa tersebut tiba pada 9 September 2020.
Tanah yang disewa Purwati merupakan tanah kas desa. Luasnya sekitar 300 meter persegi. Ia menyewa tanah tersebut bersama kakaknya.
Purwati mengklaim jika dirinya telah mengantongi bukti kwitansi pembayaran sewa tanah kas desa.
102 petani di Desa Selorejo informasinya telah mengelola 25 hektare tanah kas desa. Para petani bisa mengelola tanah tersebut dengan menyewa.
Saat polemik ini mencuat, Purwati menyesalkan, pihak Bumdes maupun Pemerintah Desa Selorejo terkesan tidak mau melakukan mediasi dengan petani jeruk.
"Keinginan kami ya kekeluargaan membahas ini. Tapi Bumdesnya juga tidak mau. Pak Kades Selorejo juga tidak mau menemui warga. Kami kesulitan menemuinya," ungkap Purwati.
Asa memperjuangkan hak tanaman jeruk sempat mendapat angin segar pada April 2020.
Saat itu, Ketua DPRD Kabupaten Malang, Didik Gatot Subroto sempat menjadi penengah kedua belah pihak.
"Mau komunikasi baik-baik warga itu loh tidak sulit. Asalkan ada kompensasinya," tutur wanita berusia 42 tahun ini.
Jika pada akhirnya tanah yang ia sewa akan dikeloka Pemerintah Desa Selorejo, Purwati hanya meminta keadilan berupa dana kompensasi.
Pasalnya, ia merasa telah mencurahkan keringatnya untuk merawat tanaman jeruk. Apalagi, menjadi petani jeruk merupakan sumber utama menafkahi keluarga.
"Informasinya pihak desa mau ganti rugi. Tapi per pohonnya Rp 25 ribu sesuai harga waktu 10 tahun lalu," terang Purwati.
Mendengar informasi itu, Purwati merasa kesal. Lagi-lagi ia merasa heran dengan pemikiran pihak Pemerintah Desa Selorejo.
"Soal kompensasi kami maunya per pohon jeruk Rp 1 juta. Nah ini kami merawat yang tujuh tahun itu bagaimana. Pemikirannya itu loh saya tidak ngerti," sesalnya.
Jika pada keputusan pengadilan masih dirasa merugikan, Purwati menyebut, dirinya bersama petani jeruk lainnya akan melakukan tindakan lain.
"Paling mentoknya adalah penebangan pohon Kalau pemerintah tidak ada belas kasihan kepada orang kecil ya itu jalan terakhir," kata Purwati.
Namun, Purwati masih berusaha mempertahankan haknya sebagai petani jeruk.
Tapi kami masih berusaha, ini kan masalah perut. Kalau bisa, kami mempertahankan," tutur wanita yang pernah menjadi petani jagung tapi gagal ini.
Terakhir, ia merasakan polemik yang ia alami saat ini sungguh berdampak terhadap pekerjaannya sebagai petani jeruk.
"Dampak dari polemik ini sangat merugikan kami sebagai rakyat kecil," curhatnya.
Penulis: Erwin Wicaksono
Editor: Heftys Suud