Harga Garam di Kabupaten Gresik Anjlok, Petani Terancam Gulung Tikar: Tidak Kuat, Ini Paling Buruk
Harga garam di Kabupaten Gresik rendah. Pengurus Asosiasi Persatuan Petani Garam Kabupaten Gresik akui terancam gukung tikar: ini yang paling buruk.
Penulis: Willy Abraham | Editor: Hefty Suud
TRIBUNJATIM.COM, GRESIK – Harga garam di Kabupaten Gresik rendah.
Petani garam di Gresik sampai mengeluhkankan harga garam anjlok.
Jika harga terus jatuh, mereka ancam akan mogok kerja alias banting setir mencari pekerjaan lain.
Pengurus Asosiasi Persatuan Petani Garam Kabupaten Gresik, Suri mengatakan, para petani tidak kuat dengan harga jual garam yang sangat rendah.
• Berjalan Baik, Sensus Penduduk Online di Kota Batu Capai 90 Persen dari Target
• Rahasia Mayangsari Wajahnya Selalu Cantik hingga Model Rambut Ikonik, Merasa Belum Perlu Operasi
Apalagi dengan harga segitu tidak sebanding dengan biaya produksi selama ini.
“Harganya turun, sekarang garam Rp 250 sampai Rp 300 per kilogramnya,” ucap Suri.
Menurut Suri, impor garam menjadi salah satu faktor utama harga garam petani lokal anjlok. Bahkan, kalah bersaing dengan garam dari luar negeri.
Jika seperti ini, bukan tidak mungkin para petani akan gulung tikar dan memilih meninggalkan profesi ini.
• Sikap Tenang Dini Syafariah, Spirit Whisnu Sakti Buana Maju Pilwali Surabaya
• Kronologi Warga Surabaya Ditipu Mantan Pegawai Kampus di Malang, Ditawari Kontrak Kerja, Uang Ludes
Dengan harga Rp 700 sampai Rp 800 per kilogram, barulah petani masih bisa sedikit bernafas lega. Ada uang yang masih bisa dipegang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Kalau sekarang memasuki panen raya harganya malah anjlok. Gara-gara impor garam,” pungkasnya.
Sarimin (47) salah seorang petani garam yang sudah puluhan tahun mengaku baru ini harga garam anjlok luar biasa.
Pria tamatan SD ini menyebut harga garam kali ini adalah yang paling buruk selama dirinya menjadi petani. Murahnya harga garam sempat membuat dirinya ingin pindah profesi dari petani.
“Tidak cukup, kalau seperti ini saya mau kerja di Jakarta ikut saudara jaga toko saja,” terangnya.
Bapak empat anak ini mengaku harga garam perton nya untuk saat ini mencapai Rp 350 ribu. Hasil itu belum bersih. Ia harus membagi dengan pemilik lahan dan biaya operasional.
Merosotnya harga garam itu Sarimin menduga karena besarnya impor garam dari luar negeri. Petani lokal kewalahan karena harga tidak bisa bersaing.
“Pemerintah kalau bisa jangan import, kasihan petani garam. Saya sejak kecil lulus SD sudah ikut jadi petani garam. Kalau harganya seperti ini mau dikasih makan apa?” tanya Sarimin.
Pria asal Kabupaten Sumenep, Madura ini memboyong istri dan anak keempatnya yang masih kecil ke Gresik untuk menghemat biaya hidup.
Tinggal di bangunan semi permanen yang disediakan pemilik lahan, Sarimin mengaku hasil dari menjadi garam itu masih belum cukup.
Sesekali tatapannya kosong melihat putri keempatnya saat mengantar segelas minuman kepadanya.
Mertuanya di Madura pun hingga mengirim beras agar keluarga kecilnya bisa makan.
Total lahan seluas 2 hektar ini dikerjakan dengan dibantu istrinya di Desa Roomo, Kecamatan Manyar. Hasil yang ia terima harus dibagi dengan pemilik lahan.
Pembagiannya, 40 persen untuk dirinya 60 persen untuk pemilik lahan.
Tidak sampai disitu, lokasi lahan tambak garam yang dikelilingi pabrik membuatnya harus pintar memanfaatkan waktu.
Sebab, aroma yang keluar dari cerobong asap pabrik membuatnya pusing. Saat menjelang maghrib, dia harus masuk ke dalam rumah semi permanen yang terbuat dari anyaman bambu itu, karena aromanya semakin menyengat.
Guna memenuhi kebutuhan hidup, Sarimin terpaksa menjadi tukang angkut garam dari tempat produksi ke gudang penyimpanan. Mengangkut satu karung garam dihargai seribu rupiah.
Namun Sarimin dalam satu hari mampu mengangkut 60 karung garam menggunakan sepeda motor bebek protolan warna hitam miliknya menyusuri jalan setapak lahan garam menuju gudang.
"Mau bagaimana lagi, saya tetap tanggungjawab dengan keluarga. Lumayan bisa dapat Rp 60 ribu meskipun tidak setiap hari. Bisa buat beli air dan iuran bayar listrik,” pungkasnya.
Penulis: Willy Abraham
Editor: Heftys Suud