Intip Praktik Curang Oknum 'Makelar' BNPT Gresik, Modal Mulut, Raup Untung 88 Persen dari Pedagang
Begini cara 'makelar' Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Gresik beraksi. Modal mulut, raup untung lebih besar, 88 persen dari pedagang asli.
Penulis: Willy Abraham | Editor: Hefty Suud
TRIBUNJATIM.COM, GRESIK - Penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Gresik masih belum 100 persen sesuai pedoman umum (Pedum).
Penyebabnya, ternyata ada "makelar" yang mencari untung dalam penyaluran bantuan dari Kementrian Sosial untuk warga miskin itu.
WB salah seorang pemasok komoditi di Gresik membeberkan praktik curang yang selama ini dilakukan oleh oknum suplier tersebut.
• Ini Sosok Pengganti Kiwil? Meggy Keceplosan Soal Pacar saat Hak Asuh Terancam Pindah: Anak Support
• Kadindik Minta Uji Coba Pembelajaran Tatap Muka di SMA Kota Mojokerto Ditinjau Ulang
Dirinya mengaku, meski ia memiliki gudang beras, namun tidak pernah terlibat menjadi suplier BPNT.
Ia hanyalah pedagang beras biasa. Seperti pedagang lain, hanya melayani jika ada pembeli.
WB ternyata menjadi jujukan para suplier untuk memesan barang. Terutama beras. WB sebulan bisa mengirim sekitar 50 ton kepada beberapa oknum suplier itu.
"Ada yang beli, minta beras dengan harga Rp 8.300 per kilogram, ya saya tunjukkan. Jika beras harga segitu ya seperti ini kualitasnya, sudah saya tunjukkan. Dia mengiyakan," kata WB, Minggu (30/8/2020).
• Santri Matoh Ingin Partai Dukung Eko di Pilkada Tuban, Tuding Sekjen DPP PPP Banyak Intrik Politik
• LaLiga Sebut Klausul Rp 12 Triliun Messi di Barcelona Masih Berlaku: Tak Bisa Pergi Secara Cuma-cuma
Dari pesanan suplier seharga Rp 8.300 itu, WB hanya mengambil untung wajar Rp 150-200 rupiah. Wajar karena WB memang pedagang beras.
"Ya saya tahunya, dia beli saya layani," kata dia.
Tapi, suplier yang bisa disebut makelar ini malah lebih gila lagi dalam mencari untung.
Ternyata, mereka tidak memiliki dagangan atau gudang komoditi. Hanya bermodal mulut untuk mengantar barang sana sini.
Bahkan ngambil untungnya pun sangat mencekik jatah keluarga penerima manfaat (KPM) yang merupakan masyarakat tidak mampu.
Misalnya saja beras. Sesuai pedoman umum (Pedum) disebutkan beras yang disalurkan harus beras premium.
Sedangkan harga beras premium di pasar berkisar Rp 10-12 ribu. Jika makelar suplier ini memesan beras senilai Rp 8.300, artinya minimal mengantongi untung Rp 1.700 per kilogram.
Untung lebih besar 88 persen dari pedagang asli yang hanya Rp 200.
"Pesannya daridulu beras harga Rp 8.300, yasuda saya kasih. Saya tidak tahu kalau untuk BPNT," terangnya.
Jika per kilo suplier mengantongi Rp 1.700, apabila per KPM mendapat jatah beras per bulannya 15 kg, dari beras saja makelar suplier itu meraub untung Rp 25.500. Itu baru beras. Belum komoditi lain seperti telur, kacang, dan buah.
Padahal di pedum, harga beras harus premium. Yaitu beras seharga Rp 10 ribu hingga Rp 12 ribu yang dinikmati masyarakat kurang mampu.
Nyatanya, beras harga Rp 8.300 yang 'dipremiumkan' lah yang diterima masyarakat.
Tidak jarang, ada beberapa KPM yang benar-benar berani bersuara menyuarakan bantuan dari pemerintah pusat yang diterima.
Mereka menerima beras berkutu seperti di Desa Racitengah, Kecamatan Sidayu dan salah satu desa di Kecamatan Cerme pada bulan lalu.
Pantauan di lapangan, bantuan non tunai senilai Rp 200 ribu yang dirupakan komoditi itu jumlahnya masih dibawah dari itu. Selisih harganya mulai Rp 30 ribu.
Kepala Dinas Sosial Gresik, Sentot Supriyohadi mengakui apabila ada selisih harga dalam penyaluran BPNT. Menurutnya, yang bukan murni pemasok komoditi lalu menjadi suplier ini yang akhirnya biaya operasional tinggi.
Sentot mengaku bakal memperbaiki sistem penyaluran. Terutama aturan terkait suplier. Siapa yang bisa jadi suplier dan yang tidak. Harus ada aturan dan persyaratannya.
"Kita berusaha perbaiki penyaluran BPNT secara bertahap," pungkasnya.
Penulis: Willy Abraham
Editor: Heftys Suud