Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Angka Perceraian Tinggi Selama Pandemi Covid-19, Sebanyak 1.058 Wanita di Gresik Menjanda

Pandemi Covid-19 yang melanda sejak bulan Maret hingga saat ini membuat ribuan wanita di Gresik menjadi janda.

Penulis: Willy Abraham | Editor: Pipin Tri Anjani
SURYA/Willy Abraham
Ruang tunggu di Pengadilan Agama Kabupaten Gresik, Selasa (29/9/2020) 

TRIBUNJATIM.COM, GRESIK - Pandemi Covid-19 yang melanda sejak bulan Maret hingga saat ini membuat ribuan wanita di Gresik menjadi janda.

Tercatat angka perceraian di Gresik cukup tinggi selama pandemi sejak bulan Maret lalu.

Menurut data perceraian di Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Gresik ada 1.058 angka perceraian sejak pandemi Covid-19 melanda Gresik bulan Maret hingga Agustus.

Angka perceraian paling tinggi malah terjadi saat awal pandemi pada bulan Maret, sebanyak 268 perceraian diketok palu hakim.

Ternyata Bukan Gisella Anastasia Sosok Idaman yang Ingin Dinikahi Gading, Roy Marten Cekikikan

Aksi Terekam CCTV, Pria Curi Tempat Sampah Depan Ruko di Malang, Pemilik: Bukan Pertama Kali

Kemudian di susul bulan Agustus kemarin, angka perceraian sebanyak 190, terbanyak nomor dua setelah bulan Maret.

Total ada 13 faktor penyebab terjadinya perceraian di Kabupaten Gresik.

Mulai dari zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan satu pihak, dihukum penjara, poligami, kekerasan dalam rumah tangga.

Kemudian cacat badan, perselisihan terus menerus, kawin paksa, murtad dan faktor ekonomi.

Faktor penyebab terjadinya perceraian paling banyak adalah faktor ekonomi. Total sebanyak 630 pasangan berpisah karena faktor ini.

Kemudian disusul faktor perselisihan terus menerus diurutan kedua dan kekerasan dalam rumah tangga. Faktor lainnya adalah meninggalkan satu pihak dan mabuk-mabukan.

Menurut, Hakim Humas PA Gresik, Sofyan Zefri angka perceraian didominasi usia produktif.

“Usia produktif mulai usia 25 hingga 40 tahun. Dibawah 25 tahun juga ada. Perceraian di tengah pandemi didominasi oleh faktor ekonomi,” ucapnya.

Menurut Sofyan tingginya angka perceraian di tengah pandemi Covid-19 ini karena pasangan sebelum ada pandemi memang memiliki masalah kecil.

Jarang Terjadi Sarwendah Ngambek Dikerjain Betrand Peto, Cemburu ke Ruben: Onyo Lebih Sayang Kamu

Satu Pengedar Sabu di Surabaya Diringkus, Polisi Temukan Dua Poket Sabu Siap Edar

Kemudian saat pandemi, salah satu dari mereka ada yang terdampak sehingga membuat masalah kecil tersebut membesar hingga memilih untuk berpisah kemudian bercerai.

“Sebelumnya ada konflik dalam rumah tangga, dimasa pandemi ini kembali muncul sehingga bisa dipahami perkara yang muncul karena ekonomi. Bisa jadi suami kehilangan pekerjaan sehingga pasangan belum siap untuk survive bersama,” terangnya.

Menurutnya yang paling penting, perceraian bukanlah satu-satunya solusi menyelesaikan masalah dalam rumah tangga.

Prinsip perceraian dipersulit, sehingga tidak bisa serta merta menceraikan pasangan semena-semena. Seperti bosam dengan pasangan. 

Ada tiga faktor untuk memutuskan perkara cerai, pertama pertengkaran dan perselisihan kedua faktor perpisahan dan faktor gagalnya segala upaya perdamaian baik melalui nasihat keluarga, hakim.

“Cerai itu emergency exit. Harus ada alasan yang jelas sesuai hukum harus bisa dibuktikan. Kita di pengadilan agama tidak pernah ragu untuk menolak,” pungkasnya. (SURYA/Willy Abraham)

Editor: Pipin Tri Anjani

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved