Gus Baha Membedah Tentang Isra Miraj
KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Baha, sejak kecil sudah mendapat ilmu dan hafalan Al Quran dari ayahnya, KH Nur Sal
Penulis: Yoni Iskandar | Editor: Yoni Iskandar
Artinya : Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS At-Taubah: 32) Oleh karena propaganda pengolahan kata ini, disebutkan dalam kitab Târîkhus Suyûthî : وَمِنْ ذَلِكَ اِرْتَدَّ جَمْعٌ مِنَ الصَّحَابَةِ
Artinya : Dengan permainan kata-kata orang Yahudi, beberapa orang sahabat menjadi murtad.
"Saat Rasulullah mendapatkan wahyu Al-Qur’an, kemudian ada nâsikh-mansûkh ("amandemen" ayat) misalnya, propaganda yang dilancarkan adalah “Lihatlah, masak nabi plin-plan (berubah-ubah) begitu. Dulu katanya kiblat shalat ke arah Baitul Maqdis. Kiblat tersebut sudah tepat karena sesuai kiblatnya Nabi Musa. Mengapa sekarang menjadi bergeser ke arah Ka’bah? Hal ini pasti karena Muhammad sedang kangen sama keluarganya yang ada di Makkah sana, sehingga ia hadapkan kiblat ke sana. Kangen yang merupakan urusan personal Muhammad, tapi anehnya ia menghubungkan dengan masalah kiblat," jelas Gus Baha.
” Begitulah kira-kira cercaan orang kafir Makkah. Kalau kita melihat sejarah, protes tersebut muncul setelah 16 bulan Baginda Nabi di Madinah. Saat itu, shalat masih menghadap ke arah Baitul Maqdis di Palestina, kemudian Allah menurunkan wahyu: فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: Maka sungguh aku palingkan mukamu ke arah kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (QS Al-Baqarah: 144).
Sejak saat itu papar Gus Baha, Al-Qur’an turun sesuai dengan nalar sejarah. Ilmiah dan tidak mitos. Menjadikan Al-Qur’an tidak bisa dibantah sebagaimana pula yang disebutkan di ayat berikut :
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ، فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ
Artinya: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; (QS Ali Imran: 96-97) Dengan ayat ini, Nabi Muhammad berani menantang orang-orang Yahudi. Apa salahnya saya punya dua kiblat? Kiblat saya di Baitul Maqdis, karena memang Nabi Musa, Nabi Isa di sana.
Sekarang saya menghadap kiblat yang lain, yaitu kiblatnya Ibrahim. Dia lebih senior. Secara sejarah, Makkah lebih tua peradabannya. Adapun Nabi Musa, Isa mempunyai periode setelah Ibrahim. Setelah penjelasan ilmiah ini, sahabat-sahabat menjadi bangga mempunyai kiblat shalat yang dua sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits.
Kisah di atas menunjukkan, kiblat orang Islam ke arah Makkah bukan berdasar mitos atau kultus, tapi bisa dibuktikan secara ilmiah. Seumpama Nabi Muhammad berkata “Karena nabinya sekarang saya, maka kiblatnya terserah saya”, Itu sah-sah saja.
Namun, ternyata tidak demikian. Nabi lebih bisa menyodorkan bukti secara ilmiah sehingga bisa diterima akal sehat. Jika kita ingin melihat buktinya sendiri, di Masjidil Haram sekarang dapat kita saksikan ada maqam Ibrâhim, yaitu tempat di mana Nabi Ibrahim melakukan ibadah. Ada lagi hijir Ismail. Hijir itu berarti hujrah, artinya kamar. Hijir Ismail berarti kamarnya Ismail, letaknya ada di samping Ka’bah. Kembali ke masalah Isra’.
Nabi Muhammad dalam menjalani Isra’, selain menjalani proses ritual, juga mengasah intelektualitas. Ia bertemu dan diskusi dengan Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan nabi-nabi yang lain, sehingga apa yang dilakukan Nabi Muhammad, relnya sama dengan nabi-nabi pendahulunya. Tradisi pertemuan secara langsung ini dikenal dengan tradisi sanad. Atau di pesantren dikenal dengan sanad muttashil. Apabila sanad tidak bersambung, nanti akan terjadi penyimpangan yang merusak. Masing-masing orang berhak memahami agama sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Oleh karena itu, setiap nabi harus punya platform atau karakter yang sama dengan nabi-nabi yang lain dengan cara bertemu secara langsung. Dalam pendidikan intelektual Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam saat Isra’, selain bertemu para nabi terdahulu, juga dikenalkan karakter-karakter nabi tersebut. Di dalam Al-Qur’an diceritakan kisah-kisah Nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad. Dengan menceritakan itu, akan menjadikan kebijakan dan pola pikir Nabi Muhammad selaras dengan yang dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu (mushaddiqan limâ baina yadaih). Contohnya Nabi Muhammad diberi cerita oleh Allah tentang kisah Nabi Ibrahim yang ayahnya penyembah patung.
Bagi Nabi Ibrahim, ini merupakan problem. Ayahnya sendiri tidak patuh kepada Allah. Dengan kisah tersebut, Nabi Muhammad menjadi faham, yang menghadapi problem keluarga tidak hanya beliau sendiri, tapi Nabi Ibrahim juga menghadapi problem keluarga yang sama bahkan lebih berat Ibrahim.