Berita Jatim
Kelabuhi Aparat, Anggota JI Tak Segan Pakai Simbol Nasionalis, Eks JI: Menyamar Berbendera Indonesia
Berstatus sebagai organisasi korporasi terlarang oleh Negara Indonesia, ternyata tak membuat anggota Jamaah Islamiyah (JI) menghentikan aktivitas
Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Januar
Rporter: Luhur Pambudi | Editor: Januar AS
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA-Berstatus sebagai organisasi korporasi terlarang oleh Negara Indonesia, ternyata tak membuat anggota Jamaah Islamiyah (JI) menghentikan aktivitas gerakannya.
Mobilisasi gerakan antar anggota, jejaring komunikasi, bahkan proses perekrutan atau pengkaderan anggota baru, masih terus dilakukan.
Hanya saja, itu semua dilakukan secara sembunyi-sembunyi (underground). Bahkan, kini mereka tak segan menyamar dengan cara meniadakan semua simbol yang identik kelompok JI.
Baca juga: Terduga Teroris Yang Ditangkap di Tulungagung Warga Blitar, Pernah Jadi TKI di Malaysia dan Korea
Termasuk berkamuflase memanfaatkan simbol-simbol nasionalis kebangsaan yang lazimnya ditunjukkan warga negara Indonesia, seperti memasang bendera merah putih di depan rumah, dan mengikuti upacara bendera.
Mantan Ketua JI Mantiqi ke-III Wilayah Asia Tenggara Nasir Abas membenarkan, JI akan berupaya sedemikian canggih dengan menyamar dan berkamuflase untuk menjalankan misi organisasinya.
Ia juga tak menampik bahwa anggota JI bakal memanfaatkan simbol-simbol nasionalisme Negara Indonesia saat berada di tengah masyarakat.
Namun itu semua bertujuan untuk menghindari pengintaian atau kejaran aparat hukum yang terus memburu mereka. Termasuk mengaburkan kecurigaan masyarakat sekitar tempat mereka tinggal.
"Kegiatan mereka semua ada cover-nya. Ditutupi dengan contoh spanduk-spanduk, mereka menyamar, merubah pakaian. Mereka juga memantau ciri-ciri yang disebarkan oleh aparat atau pemerintah," katanya dalam wawancara ekslusif liputan khusus (Lipsus) SURYA via Zoom, Minggu (14/3/2021).
Anggota JI akan menganggap bahwa realitas yang sedang dihadapinya ini adalah situasi perang. Dalam situasi tersebut, apapun cara untuk dapat memenangkan pertempuran, seperti menyamar, tak segan mereka lakukan.
Abbas mengungkapkan, tak jarang anggota JI juga menanggalkan simbol keagamaan yang dimiliki, demi menyukseskan misi.
Seperti pengalamannya di Filipina yang mayoritas warga negaranya beragama Nasrani. Demi mengelabuhi pengintaian aparat berwajib di sana, anggota JI pun tak segan memakai kalung atau anting dengan ornamen bersimbol khas agama tersebut; salip.
Cara-cara berkamuflase itu, diakui Abas, adalah teknik militer yang dirinya pernah ajarkan kepada ratusan murid anggota JI baru saat di camp militer JI Filipina.
"Kemudian menggunakan identitas yang tertulis itu agamanya Kristen. Dengan demikian, ketika melewati di hadapan pos penjagaan kepolisian, dan mereka dalam mindset mereka mencurigai muslim atau warga asing muslim. Ketika mereka melihat yang berjalan ini menggunakan kalung salib, tidak mungkin mereka manggil," jelasnya.
Dari cara-cara itu, Abas menegaskan, masyarakat umum tak bisa mengidentifikasi seorang warga yang dicurigai sebagai anggota JI, manakala mengandalkan simbol-simbol yang ada di kediamannya.
Seperti cara berpenampilan; berjenggot, celana cingkrang, cadar, atau kening terdapat tanda warna hitam. Atau cara bersikap; ramah, suka bergaul, dan bersosialisasi.
"Mari sentuh soal keyakinannya; bagaimana kita ikut upacara Agustusan. Kadang-kadang mereka mengibarkan bendera merah putih tetapi tidak mau ikut acara agustusan mereka tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya," ungkapnya.
Oleh karena itu, ungkap Abas, cara mengidentifikasi seseorang itu terlibat dalam jaringan kelompok teror seperti JI atau Jamaah Ansarut Daulah (JAD). Yakni dari konten argumentasi pembicaraan yang acap dikatakan orang tersebut.
Manakala argumentasi dalam setiap pembicaraan cenderung kontra terhadap pemerintah menggunakan dasar berfikir teologi atau keagamaan. Seperti menganggap negara ini kafir karena tidak menerapkan hukum Islam. Atau menuduh Presiden RI sebagai kafir karena tidak menggunakan konsep bernegara ala Islam. Bisa diduga kuat, ungkap Abbas, bahwa orang tersebut adalah kelompok jaringan teror.
"Itu sudah menyangkut keyakinan. Lihat apa jawaban mereka. Kalau mereka kuat bicara soal keyakinan, pasti tidak akan terus terang," jelas Konsultan Senior di Lembaga Riset Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) itu.
Dengan cara itu, tentu tak bisa serta merta mengidentifikasi seorang warga di suatu permukiman sebagai anggota kelompok teror, sebatas mendeteksi dari simbol penampilan atau sikap keseharian yang dimunculkan.
Oleh karena itu, Abas mengimbau pada pemerintah sekup terdekat masyarakat seperti ketua rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), untuk proaktif mendeteksi latar belakang warganya; satu per satu, dengan cara-cara demikian.
Termasuk dengan tertib dalam administrasi berkas kependudukan terhadap setiap warga-warga baru yang bermukim di suatu tempat.
"Alhamdulillah pemerintah langsung di Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Mereka juga melakukan pembekalan kepada perangkat desa juga. Jadi berharap itu diperbanyak," pungkasnya.
Kumpulan berita Jatim terkini