Berita Jatim
Ungkap 3 Ciri Orang Terpapar Radikalisme dan 3 Strategi Pencegahannya, BNPT-RI: Dengarkan Argumennya
Direktur Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT-RI), Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid menerangkan, ada
Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Januar
Reporter: Luhur Pambudi | Editor: Januar AS
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA-Direktur Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT-RI), Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid menerangkan, ada tiga indikator sikap individu yang cenderung terpapar paham radikal yang berpotensi ke arah terorisme.
Pertama. Manipulasi Agama
Muncul suatu kecenderungan memanipulasi agama sebagai siasat dalam melancarkan manuver politiknya dalam rangka melawan status quo sistem pemerintahan atau ideologi sebuah negara yang sedang berkuasa.
Sikap yang tecermin adalah memilih untuk anti terhadap pemerintahan, dan menafikkan semua keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh pemimpin pemerintahan.
Baca juga: Satu Bulan Menjabat, Kebijakan Bupati Sidoarjo Mulai Dikritik: Kritik Itu Biasa
“Antipemerintahan. Anti bukan oposisi loh ya, kalau oposisi boleh. Tapi anti, kalau anti itu pokoknya semuanya salah; Harus khilafah, harus daulah, harus menegakkan syariah,” katanya dalam wawancara ekslusif edisi liputan khusus (Lipsus) via Zoom, Minggu (14/3/2021).
Kedua. Kecenderungan mengkafirkan yang berbeda (Takfiri)
Mantan Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polisi Daerah (Polda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu mengatakan sikap untuk mengkafirkan ini bakal ditunjukkan oleh individu berpaham radikal terhadap entitas yang berbeda dengan paham keagamaannya.
“Mengkafirkan yang tidak sepaham yang tidak sekelompok atau yang berbeda. Intoleransi, menghalalkan segala cara atas nama agama, antibudaya lokal, kalau ada kenduri, yasinan, tahlilan, maulidan, bidah, (dianggap) sesat,” jelasnya.
Ketiga. Kecenderungan menolak metode beragama dengan Thariqah, Tasawuf dan Tawassul
Individu yang terpapar paham radikal tersebut memiliki kecenderungan menolak atau anti terhadap Thariqah, Tasawuf, dan Tawasul. Nurwakhid menyebut, anti yang dimaksud bukan berarti tidak atau belum.
Pasalnya, banyak umat atau masyarakat yang belum berthariqah, dan belum bertasawuf. namun mereka tidak anti terhadap hal tersebut.
“Anti di sini adalah sikap membenci dengan membidahkan, menyesatkan. Ya bahkan mengkafirkan amalan-amalan tarekat, amalan para ulama-ulama tasawuf atau ulama-ulama,” tuturnya.
Kecenderungan sikap dan mentalitas individu yang berpaham radikal sejatinya tecermin dari narasi atau konten informasi yang muncul dari cara berfikir seseorang. Bukanlah dari cara berpenampilan orang tersebut.
Artinya, Nurwakhid mengungkapkan, menyandarkan indikator radikalisme itu sebatas pada kenampakan cara berpenampilan, seperti merawat jenggot, bercelana cingkrang, kening kepala terdapat tanda hitam, atau bahkan penggunaan cadar pada perempuan, merupakan suatu bentuk kekeliruan.
“Enggak bisa itu, bukan kalau yang tampilan-tampilan. (Tapi) dengan ideologinya, akhlaknya, perilakunya, nilai-nilai kebangsaan dan nasionalismenya,” ujarnya.
Nurwakhid mengungkapkan, terdapat dua pendekatan dalam menggantang fenomena radikalisme yang berbuah terorisme. Yakni Soft Approach, suatu bentuk penanggulangan masalah yang berorientasi pada pencegahan secara hulu permasalahan.
Sedangkan Hard Approach suatu bentuk penanggulangan masalah yang berorientasi pada penegakan hukum pada bagian hilir permasalahan. Dalam hal ini Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 2018, tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003, Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.
Soft Approach memiliki tiga macam strategi. Di antaranya, strategi kesiapsiagaan nasional, strategi kontra radikalisasi, dan strategi deradikalisasi.
Pertama. Strategi kesiapsiagaan nasional
Kesiapsiagaan nasional adalah upaya untuk membentengi atau vaksinasi terhadap cara berpikir masyarakat agar terbentuk imunitas yang belum terpapar.
Kedua. Strategi kontra radikalisasi
UU mengamanahkan dengan strategi kontra radikalisasi. Kontra radikalisasi yang dimaksud ini adalah upaya melawan berbagai macam narasi radikalisme yang diedarkan oleh kelompok teror. Seperti kontra narasi, kontra ideologi, dan kontra propaganda.
Ketiga. Strategi Deradikalisasi
Deradikalisasi upaya pencegahan untuk mengurangi kadar radikal seseorang. Diperuntukan kepada narapidana terorisme (napiter) atau mantan napiter. Guna mengembalikan kadar radikalisme itu menjadi lebih moderat.
“Jadi pencegahan yang ketiga ini sejatinya dilakukan supaya yang sudah terpapar pada level tinggi, supaya tidak melakukan aksi teror. Kalau sudah unsurnya terpenuhi. Itu biasanya kami preventif strike tindakan,” pungkasnya.
Kumpulan berita Jatim terkini