Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Ramadan 2021

Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA : Pendidikan Samawi dalam Ibadah Puasa

Dimensi vertikal ibadah puasa berupa pengendalian diri dari segala bentuk hasrat duniawi, baik berupa makanan, minuman dan kenikmatan seksual untuk me

Penulis: Yoni Iskandar | Editor: Yoni Iskandar
istimewa
Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA, adalah Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Direktur Pascasarjana IAIN Jember dan Pengasuh Pondok Pesantren Shofa Marwa Jember 

Penulis : Yoni Iskandar | Editor : Yoni Iskandar

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Setiap ibadah selalu memiliki dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal sangat terkait dengan aspek teosentris/ketuhanan, sedang horizontal terkait dengan aspek antroposentris/kemanusiaan.

Dimensi vertikal ibadah puasa berupa pengendalian diri dari segala bentuk hasrat duniawi, baik berupa makanan, minuman dan kenikmatan seksual untuk melebur kepada kenikmatan sejati bersama Allah Swt, sumber dari segala kenikmatan. Sedangkan dimensi horizontal ibadah puasa adalah persamaan (egalitarianisme).

Semua orang Islam kaya maupun miskin harus sama-sama menahan lapar, dahaga dan nafsu lainnya dari sejak fajar sampai terbenamnya matahari.

Orang yang dirumahnya terpenuhi stok makaman dan minuman dengan orang miskin yang sama sekali tidak punya ransum makanan, sama-sama harus merasakan lapar demi mencapai ridha Allah Swt.

Baca juga: Gus Baha : Sopir Bus Antar Kota Wajib Berpuasa

Baca juga: Mencicipi Makanan saat Puasa Ramadan Bisa Batal atau Tidak? Simak Penjelasan Hukumnya Menurut Ulama

Baca juga: 5 Resep Menu Buka Puasa Irit dan Gampang Dibuat Selama Ramadan 2021: Terong Balado, Kembung Tauco

Implikasi dari prinsip persamaan ini melahirkan terbentuknya empati sosial untuk memperjuangkan persamaan hak umat atas semua aspek, baik pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya, dan sebagainya.

Adanya perintah dan kewajiban berpuasa seperti difirmankan Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Jika dikaji dan direnungkan secara mendalam makna ayat tersebut, akan dapat dipahami bahwa ibadah puasa yang hanya diwajibkan (idiom ushul fiqh, mafhum mukhalafah) kepada orang yang beriman adalah untuk mencapai ketaqwaan. Jadi taqwa merupakan target yang akan dicapai dari perintah dan kewajiban berpuasa bagi orang-orang yang beriman.

Selain itu, ketika menetapkan kewajiban berpuasa, al-Qur’an tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datang dari Allah, tetapi redaksi yang digunakannya dalam bentuk pasif: ”...diwajibkan atas kamu berpuasa...”.

Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa puasa tidak harus merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah Swt, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkannya atas dirinya pada saat ia menyadari banyaknya manfaat dan nilai-nilai pendidikan dengan diwajibkannya puasa itu, karena puasa akan menjadikan kita lebih sehat, berpuasa akan menjadikan kita lebih baik, dan dengan berpuasa sebulan ramadhan akan menjadikan kita lebih terdidik.

Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan ruh ilahi. Tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani, sedangkan ruh ilahi mengantarkannya kepada hal-hal yang bersifat ruhaniah. Tidak dapat disangkal bahwa dorongan kebutuhan jasmani, khususnya fa’ali (makan, minum, dan hubungan seks) menempati tempat teratas, daya tariknya sedemikian kuat sehingga tidak jarang orang terjerumus ke lembah yang menistakan. Seseorang yang mampu mengendalikan diri, diharapkan mampu mengontrol dorongan naluriah atau nafsu lain. Dari sini dapat dipahami mengapa syarat sahnya puasa dalam Islam adalah bila ia berhasil mendidik diri guna ”menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seksual”.

Dengan demikian, perlu ada proses pelatihan, bahkan pendidikan untuk menghindari lepasnya kontrol dorongan naluri fa’ali tersebut. Salah satu media pendidikan yang sangat strategis adalah syariat ibadah puasa.

Jadi, puasa Ramadan disyariatkan hakikatnya adalah untuk mendidik kita; mendidik kesehatan kita, mendidik kejujuran kita, mendidik keikhlasan kita, dan mendidik potensi pengendalian diri kita. Puasa ramadhan disyariatkan agar kita dapat mengendalikan diri, dan puasa Ramadan disyariatkan agar kita selalu optimis terhadap masa depan.

” Ada dua kegembiraan (kenikmatan) yang didapatkan oleh orang yang berpuasa, sekali pada saat berbuka dan sekali pada saat menemui Tuhannya,,demikian sabda Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, tanamkan keyakinan secara mendalam bahwa puasa bukan beban, tetapi puasa adalah kebutuhan kita, menuju kebahagiaan di masa depan, dan pendidikan puasa yang dijalani secara benar dan istiqamah akan membentuk kepribadian yang baik, kepribadian yang sangat dibutuhkan di masa depan," katanya.

Puasa Ramadan sebenarnya merupakan rahmat dan sekaligus kemurahan Allah Swt, bukan beban bagi kita, karena perintah berpuasa dimaksudkan sebagai media pendidikan samawi, pendidikan yang amat strategis, sangat komprehensif, sehingga manusia lebih dekat kepada hakikat jati dirinya, yakni makhluq yang selalu merindukan kedekatan kepada Sang Khaliq Allah Swt dan kedekatan dengan sesama.

Mengapa?, karena puasa ramadhan memberi pengalaman ruhaniah (spiritual experiences) sangat berharga bagi kehidupan manusia. Yang semula jarang bersama, selama ramadhan akan sering bahkan selalu bersama, minimal saat berbuka dan bersantap sahur. Yang semula jarang sholat berjamaah, selama ramadhan menjadi aktif sholat berjamaah lima waktu, sholat tarowih dan witir. Yang semula kurang peka terhadap sesama, selama ramadhan akan merasa lebih peduli terhadap nasib sesama, dan bentuk amaliah lainnya.

Sumber: Tribun Jatim
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved