Berita Surabaya
Ekonom Sebut Pajak Sembako Bisa Perlebar Disparitas Kemiskinan
Baru-baru ini publik tengah ramai dengan adanya isu pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok atau sembako.
Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: Yoni Iskandar
Reporter : Fikri Firmansyah | Editor : Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Baru-baru ini publik tengah ramai dengan adanya isu pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok atau sembako.
Apabila rencana itu disahkan, bahan-bahan pokok seperti halnya beras, telur, daging, sayur-sayuran, dan semacamnya akan dikenai pajak dalam pembeliannya.
Merespons hal itu, Dr. Wasiaturrahma, S.E., M.Si., menilai pemerintah perlu menelaah secara matang sebelum memutuskan kebijakan tersebut.
Meski Indonesia tengah mengalami perlambatan ekonomi di masa pandemi dan tax ratio mencapai 8 persen terhadap PDB, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) itu menekankan bahwa pengenaan PPN pada sembako sangat berhubungan dan bisa berdampak pada perut rakyat kecil.
Pihaknya juga menyebut RI perlu belajar dari prinsip beberapa negara maju yang menerangkan bahwa makanan, kesehatan, dan pendidikan tidak boleh dikenakan PPN karena menyangkut kebutuhan primer dalam kehidupan.
Baca juga: Kalangan DPRD Jatim Getol Meminta Pemerintah Setop Wacana PPN Sembako dan Sekolah
“Itu negara maju loh, apalagi kita negara berkembang yang income per-kapitanya sudah sangat merosot akibat pandemi.
Sekarang ini, semua mengalami penurunan daya beli oleh masyarakat. Jadi, kebijakan itu harus dipertimbangkan dengan baik,” terang dosen yang kerap disapa Rahma itu, Senin (21/6/21).
*Dampak bagi Masyarakat*
Dalam pandangannya, pengenaan PPN pada sembako akan menyulitkan masyarakat bawah yang berpenghasilan tidak tetap atau tetap, tapi rendah.
Menurutnya, daya beli masyarakat saat ini sudah rendah, apabila PPN pada sembako diterapkan, maka daya beli masyarakat bawah akan semakin anjlok.
“Silakan berlakukan kebijakan ini bagi kalangan atas, tapi tidak untuk kalangan masyarakat bawah karena bisa semakin memperlebar disparitas kemiskinan di Indonesia.
Kita perlu merujuk kembali pada UUD 1945 pasal 33 yang menerangkan bahwa semua kebijakan itu tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat,” tekannya.
Lebih lanjut, dosen kelahiran Sumenep tersebut menyebut ada barang-barang lain yang seharusnya lebih pas dikenakan PPN dibandingkan sembako.
“Barang mewah, seperti barang-barang impor dari luar negeri itu wajib hukumnya dikenakan PPN cukup tinggi. Hal itu selaras juga untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan kita,” terangnya.