Berita Jatim
Tiga Kali P19, Anak Pengasuh Ponpes Jombang Gugat Kapolda Jatim karena Jadi Tersangka Pencabulan
Sidang gugatan praperadilan yang dilayangkan MSAT anak pengasuh pondok pesantren di Jombang kepada Kapolda Jawa Timur digelar di ruang Tirta 2
Penulis: Firman Rachmanudin | Editor: Januar
" Saya mengenal M waktu ada program rekrutmen tenaga medis kesehatan," katanya.
Saksi menceritakan, pada 2015 tersebut, pesantren S yang diasuh oleh ayah MSAT membutuhkan tenaga medis kesehatan, sehingga dilakukan rekrutmen dan korban M satu dari 10 orang yang akan direkrut.
"Itu program dari Mas Subchi, waktu itu butuh tenaga kesehatan sehingga dilakukan wawancara kepada 10 santri yang bersedia. Saya sendiri sebagai ketua dan penanggung jawab." Ungkapnya.
Wawancara itu dilakukan secara terbuka di teras gubuk Cokro.
Selain tim yang berjumlah 15 orang, wawancara juga dilakukan langsung oleh MSAT kepada 10 santri yang akan direkrut menjadi tenaga kesehatan.
"Wawancara dimulai dari pukul 07.00 WIB, hingga menjelang Dzuhur, dan dilakukan diteras bukan didalam kamar, gubuk. Saya juga melihat Mas Subchi wawancara dengan M tapi ya didepan," imbuhnya.
Disinggung apakah dirinya pernah diperlihatkan ponsel korban M oleh penyidik yang diduga adanya chating dengan pemohon MSAT, saksi mengaku tidak pernah ditunjukan.
Saksi juga mengaku, bahwa dibukanya terapi kesehatan di Gubuk Cokro Puri yang berjarak sekitar 7-8 KM dari pusat (Pondok) karena di Puri masyarakatnya masih banyak yang tertinggal.
"Disana kan masyarakatnya masih tertinggal dan masih banyak yang miskin, makanya dibuka disana. Selain pasien pria juga menerima pasien perempuan, saya juga ikut menerapi (perempuan) kalau Mas Bechi tidak pernah hanya mengarahkan," ujarnya lebih lanjut.
Sementara pasca wawancara yang dilakukan menjelang Idul Fitri itu, lima calon tenaga kesehatan yang dinyatakan memenuhi syarat, saat pulang tidak pernah kembali juga susah dihubungi.
"Setelah pulang Idul Fitri , mereka menghilang termasuk M, saat dihubungi HP nya juga tidak aktif," pungkasnya.
Aji juga sama sekali tidak mengetahui apakah MSAT telah melakukan perbuatan seperti yang dilaporkan oleh M ke polisi.
Sementara itu, dr. Ngesti Lestari ahli forensik dari Universitas Brawijaya Malang dalam keterangannya mengatakan, bahwa forensik atau visum merupakan tindakan medis sebagai alat bukti yang sah, atas peristiwa kekerasan.
"Semua dokter boleh membuat visum, baik itu dokter ahli ataupun dokter umum," ucapnya.
Terkait robeknya selaput darah seeprti hasil visum, Ngesti mengaku semua wanita bisa mengalami hal tersebut, meski tidak dengan dilakukan persetubuhan.