Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Surabaya

Melihat Wayang Potehi di Kelenteng Tertua di Surabaya Jelang Imlek, Tampil Selama Setengah Abad

Kelenteng Hong Tiek Hian di Surabaya masih mempertahankan pertunjukan wayang Potehi hingga saat ini. Saban hari, minimal ada satu kali gelaran Wayang

Penulis: Bobby Constantine Koloway | Editor: Januar
TribunJatim.com/ Bobby Constantine Koloway
Kelenteng Hong Tiek Hian di Surabaya masih mempertahankan pertunjukan wayang Potehi hingga saat ini. Ini pun menjadi tontonan yang menarik bagi masyarakat yang sedang bersembahyang di Kelenteng tertua di Surabaya ini, Selasa (25/1/2022). 

Laporan wartawan Tribun Jatim Network, Bobby Constantine Koloway

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Kelenteng Hong Tiek Hian di Surabaya masih mempertahankan pertunjukan Wayang Potehi hingga saat ini. Saban hari, minimal ada satu kali gelaran Wayang Potehi yang dihelat di Kelenteng yang berlokasi di Jalan Dukuh No.23, RW.05, Nyamplungan, Kecamatan Pabean Cantian, Surabaya ini.

"Sebenarnya, gelaran ini tidak hanya menjelang Imlek. Bahkan sebelum pandemi, dalam satu hari kami main tiga kali," kata dalang Wayang Potehi Eddy Sutrisno, Selasa (25/1/2022).

Eddy menceritakan, pertunjukan wayang ini tidak pernah berhenti sejak dihelat kali pertama pada tahun 1960-an. Hingga saat ini, Wayang Potehi lantas dimainkan secara turun temurun di tempat ibadah Tridharma tertua di Surabaya ini.

"Pertunjukkan ini sudah sejak lama. Mungkin, sekitar tahun 1960an potehi sudah ada. Itu dari senior-senior saya," katanya.

Tiap harinya, pertunjukan wayang potehi hanya berdurasi sekitar 1,5 atau 2 jam. Setiap cerita memang dibawakan secara serial (berkelanjutan) sehingga berhari-hari.

Baca juga: Nasib Kampung Miliarder Tuban yang Dulu Viral, Kini Warga Jual Sapi untuk Makan seusai Lahan Dijual

Biasanya, lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik China. Seperti legenda dinasti-dinasti yang ada di China,

Eddy menceritakan, bahwa ada sejumlah tuntunan yang dibawakan dalam sebuah cerita. "Ada pesan dalam cerita ini," katanya.

"Wayang ini bukan hanya sebagai tontonan, tapi juga tuntunan pada umat. Misalnya, pada akhirnya yang berbuat baik akan mendapatkan kemenangan," kata Eddy.

Dalam membawakan pertunjukan boneka tradisional asal Fujian, Tiongkok Selatan ini dia menggunakan Bahasa Indonesia. Sekalipun, ada beberapa momen ia menggunakan suluk (nyanyian dalang) dengan menggunakan bahasa Hokkien.

"Sekalipun dengan bahasa Indonesia, kami masih mempertahankan pakem aslinya. Termasuk, cerita dan irama musik yang digunakan," katanya.

Eddy bersama empat temannya bergabung dalam kelompok kesenian Lima Merpati. Apabila Eddy berperan sebagai dalang, keempat temannya ada yang menjadi asisten dalang dan pemain musik.

Setiap pemain ada yang memainkan lebih dari dua alat musik. "Seperti Wayang Kulit, untuk musik, ada pakemnya. Misalnya, bagaimana musik ketika menggambarkan suasana perang, susah, atau senang," katanya.

Kelompok ini menjadi satu di antara kelompok seniman Wayang Potehi yang masih bertahan di Indonesia. "Setahu kami, mungkin hanya ada tiga kelompok yang masih bertahan di Indonesia. Ketiganya berasa di Jawa Timur," katanya.

Selain mereka, dua lainnya berada di Jombang dan Tulungagung. "Kami masih sering berkolaborasi apalagi kalau ada jadwal undangan yang padat," katanya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved