Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Surabaya

Marak Gangster di Kalangan Pelajar, Dindik Jatim Minta Orangtua Perketat Pengawasan pada Anak

Aksi sekelompok remaja yang menamai dirinya gangster mulai meresahkan warga Surabaya beberapa pekan terakhir. 

Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Ndaru Wijayanto
istimewa
Screenshot gangster sidoarjo saat beraksi di jalanan 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Sulvi Sofiana

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Aksi sekelompok remaja yang menamai dirinya gangster mulai meresahkan warga Surabaya beberapa pekan terakhir. 

Hal ini membuat Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Wahid Wahyudi mengimbau orang tua siswa di Surabaya agar memberikan pengawasan yang lebih ketat kepada anak-anaknya untuk tidak keluar rumah apabila tidak ada kepentingan yang jelas.

"Beberapa hari yang lalu sejak saya mendapatkan informasi tentang adanya rencana munculnya gengster ini, saya sudah perintahkan kepada para kacabdin (Kepala Cabang Dinas) agar melakukan koordinasi dengan para kepala SMA/SMK untuk menghimbau orang tua agar melakukan pengawasan lebih ketat kepada putra-putrinya. Jika tidak ada kepentingan jelas maka jangan keluar rumah," tegas Wahid dikonfirmasi, Minggu (4/12/2022). 

Ditegaskan Wahid, hingga saat ini pihaknya beluk menerima laporan jika ada siswa SMA/SMK di Surabaya yang terlibat. 

Meski begitu, imbauan tetap dilakukan untuk mengantisipasi keterlibatan siswa dalam aksi gangster ini. "Saya belum dapat laporan," tegasnya. 

Baca juga: Gerak-gerik Aneh 2 Remaja Surabaya saat Jumpa Rombongan Patroli, Ternyata Simpan Ini di Balik Jaket

Sementara itu, menurut, Dosen Prodi Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dr Sugeng Harianto MSi munculnya tawuran antar gangster di Surabaya menjadi fenomena yang cukup mengejutkan. 

Sebab, selama ini fenomena gangster hanya ditemukan di Jakarta dan sejumlah daerah di Jawa Barat.

Sugeng menilai, tawuran antar gangster yang terjadi di Surabaya ini merupakan salah satu permasalahan sosial. 

"Dalam konteks ini adalah kenakalan remaja yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat di kota besar seperti Surabaya," tegasnya.

Menurutnya, gangster merupakan sub kebudayaan menyimpang yang dikembangkan dan dilakukan oleh anak-anak usia muda. Mereka membentuk in group (kelompok dalam). 

Sugeng menyebut, sub kebudayaan menyimpang yang dilakukan gangster boleh merupakan resistensi terhadap kondisi masyarakat yang senjang dan tidak adil.

"Anggota gangster ini boleh jadi berasal dari strata sosial bawah, yang sehari-hari hidup di tengah-tengah kemiskinan orang tua dan masyarakat sekelilingnya. Mereka sudah bosan menyaksikan masyarakatnya yang senjang, tidak adil, dan miskin," ungkapnya.

Ia mengatakan, munculnya gangster bisa dilacak akarnya pada struktur sosial masyarakat. 

Misalnya saja seperti masyarakat Surabaya yang tidak bisa dipungkiri dengan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi. 

Untuk diketahui, beberapa waktu lalu sebanyak tujuh anggota gangster bernama Team GukGuk telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. 

Dari hasil penyelidikan Polres Pelabuhan Tanjung Perak, diketahui motif dari aksi pelaku adalah agar terlihat eksis.

Melihat itu, Sugeng tak menyangkal dengan pengakuan para pelaku tersebut jika aksinya hanya sekedar untuk eksistensi. 

Hanya saja, eksistensi yang ingin mereka wujudkan adalah eksistensi dalam bentuk sub kebudayaan menyimpang.

"Mereka ingin menunjukkan ke masyarakat bahwa meskipun masyarakat didominasi oleh kekuatan ekonomi kapitalis, namun mereka ada di masyarakat. Untuk menunjukkan eksistensi mereka dengan menggunakan sub kebudayaan menyimpang, yang berbentuk kekerasan. Kekerasan yang mereka pertontonkan merupakan bentuk resistensi terhadap kondisi masyarakat," paparnya.

Lebih lanjut disampaikan Sugeng, tawuran antar gangster merupakan fenomena tawuran yang melibatkan in group dan out group. 

Dikatakannya, in group dan out group merupakan dua kelompok yang memiliki batas-batas yang tegas, seperti 'kita dan mereka'. 

"Dalam in group mempunyai solidaritas kelompok yang kuat dan mengembangkan stereotipe terhadap kelompok lain. Anggota in group menganggap kelompoknya yang paling baik dan sempurna, sementara kelompok lain jelek, bahkan diberikan stereotipe yang bersifat negatif," urainya

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved