Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Jatim

Ketua PP Muhammadiyah Sindir Tokoh yang Kritisi Politik Identitas: Padahal Semua Punya Identitas

Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir rupanya juga menyingung isu politik Identitas saat memberikan sambutan

Penulis: Imam Nawawi | Editor: Januar
TribunJatim.com/ Imam Nawawi
Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat sambutan Milad ke-42 Peresmian Rumah Sakit Umum Universitas Muhamadiyah Jember 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Imam Nawawi


TRIBUNJATIM.COM, JEMBER- Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir rupanya juga menyingung isu politik Identitas saat memberikan sambutan pada acara Milad ke-42 Peresmian Rumah Sakit Umum Universitas Muhamadiyah Jember.

Menurutnya, isu tersebut sering dibuat retorika oleh para tokoh agama.

Seakan umat muslim ini ter-petak petakan. Padahal semua orang punya Identitas.

"Muncul belakangan ini politik Identitas, ini poltik Identitas ini tidak politik Identitas. Padahal semuanya punya Identitas, hanya saja ada yang dikedepankan ada yang disembunyikan,"ujarnya, Sabtu (11/3/2024)

Pria yang akrab disapa Buya Haedar ini mengaku memahami betul teori politik front stage dan back stage. Kata dia, hal itu berupa apa yang layak dikedepankan dan apa harus disembunyikan.

"Bilang tidak politik Identitas. Tetapi setiap tokoh dengan kekuatan politik selalu datang ke pesantren. Padahal itu politik Identitas jelas, untuk merebut hati kaum santri," paparnya.


Hal itu membuat demokrasi negara menjadi membelah. Sehingga lanjut Haedar, diperlukan kesadaran persatuan itu sangat penting dibangun, sebagai komitmen bersama, termasuk Muhammadiyah.

"Bagaimana mewujudkan kesatuan yang tulus, kesatuan dalam koridor lebih objektif rasional. Bangsa yang besar dan majemuk tidak bisa betul-betul utuh. Makanya sering disebut pruralis, atau kebhinekaan seperti air dan minyak," imbuhnya.

Namanya air dan minyak tidak mungkin bisa bersatu. Tetapi kata dia, Indonesia punya sistem untuk menyatukannya. Contohnya, kenapa bahasa daerah hingga kini masih hidup?.

"Karena ada bahasa nasional yang menyatukan, yakni bahasa Indonesia. Perbedaan agama tidak perlu setiap hari beribadah di tempat masing-masing, atau ikut nyapu halaman masing-masing. Itu hal yang teknis. Tetapi ada kesadaran bersama untuk saling menghormati, itu persatuan dewasa,"kata Haedar lagi.

Haedar menilai terkadang orang itu selalu fokus pada hal-hal yang nampak terlihat secara fisik. Tetapi ketika berkaitan masalah fundamental, justru tidak siap.

"Contohnya ada rumah ibadah yang tidak bisa berdiri, tau-tau sudah ke internasional. Padahal hal yang sama kata peroleh kelompok mayoritas masyarakat juga tidak mudah bangun tempat ibadah, nah harus ada mekanisme sistem aturan, itu yang harus dibangun," tuturnya.

Oleh karena itu sebenarnya, lanjut Haedar keberadaan rumah sakit, perguruan tinggi maupun organisasi sosial, mampu menyatukan perbedaan perbedaan itu.

"Muhammadiyah dengan keterbatasannya, bisa bangun rumah sakit dan perguruan tinggi. Sebenarnya untuk menyatukan. Di Papua dan NTT Perguruan tinggi, maupun menengah mayoritas siswa dan mahasiswanya dari saudara-saudara kita non-islam, 80 persen,"katanya.

" Sadar atau tidak sadar, itu adalah wujud untuk sistem bhineka tunggal ika lewat pranata pendidikan,"tambahnya.

Baca juga: Setuju Pesan Jokowi, DPRD Jatim Sebut Kepala Daerah Harus Tangkal Politik Identitas

 

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved