Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kisah Petani ke Dedi Mulyadi Soal Pupuk Subsidi, Lebih Pilih Harga Jual Gabah di Atas Rp800 Ribu

Petani mengaku siap membeli pupuk non subsidi yang barangnya selalu tersedia di pasaran jika harga jual gabah tinggi.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
Dok Pribadi via Triun Jabar
Seorang petani curhat ke Dedi Mulyadi soal pupuk subsidi 

TRIBUNJATIM.COM - Oleh para petani, pemerintah diminta bisa mengalihkan subsidi pupuk ke pembelian gabah dengan harga tinggi yakni di atas Rp80 ribu.

Mak dengan cara seperti itu, petani mengaku siap membeli pupuk non subsidi yang barangnya selalu tersedia di pasaran.

Hal itu disampaikan seorang petani yang bertemu Kang Dedi Mulyadi aau akrab disapa KDM.

Petani tersebut menggarap sendiri sawahnya seluas 120 bata.

"Ini semua pakai tenaga sendiri mulai dari tandur, babat, memupuk, hanya bayar traktor saja Rp 300 ribu," ungkapnya.

"Paling sama pupuk subsidi itu juga susah dapatnya, jumlahnya juga terbatas," katanya.

Total petani tersebut mengeluarkan modal sekitar Rp1 juta.

Dari modal tersebut setelah empat bulan akhirnya panen dan mendapatkan uang dari penjualan gabah sekitar Rp6 juta.

Menurutnya, dengan kondisi pupuk subsidi yang sulit sudah seharusnya gabah dihargai Rp800 ribu per kuintal.

Angka tersebut dianggap sesuai dengan biaya produksi menggunakan pupuk non subsidi.

"Lebih baik pupuk tidak disubsidi asal harga gabahnya minimal Rp800 ribu per kuintal, syukur bisa Rp900 ribu," katanya.

"Pakai pupuk non subsidi padinya jadi lebih bagus, tidak perlu antre."

"Kalau pakai yang subsidi sering telat karena barangnya enggak ada," ucapnya lagi.

"Kalau saya berani pupuk tidak disubsidi, asal harga gabahnya minimal Rp800 ribu per kuintal," lanjut petani tersebut.

Baca juga: Serangan Hama Wereng Bikin Petani di Sampang Khawatir, Tanaman Mengering hingga Terancam Gagal Penan

Selain soal pupuk, petani tersebut juga menceritakan, seharusnya ia bisa mendapatkan uang tambahan dari sawah 200 bata miliknya di desa lain.

Sayangnya, sawah tersebut saat ini tak bisa digarap karena mengalami kekeringan akibat irigasi rusak dan terhalang banyaknya pembangunan perumahan baru.

Senada dengan sang petani, Dedi Mulyadi pun setuju jika pemerintah mengalihkan subsidi pupuk ke pembelian gabah petani.

Menurutnya, cara tersebut dinilai lebih efisien dan menguntungkan para petani.

"Mengalihkan subsidi pupuk ke pembelian gabah petani."

"Petani tidak akan lagi minta pupuk disubsidi jika harga jual gabah di atas Rp 800 ribu," kata Dedi Mulyadi.

Dedi Mulyadi dan seorang petani
Dedi Mulyadi dan seorang petani (Dok pribadi vi Tribun Jabar)

Nantinya, kata KDM, pemerintah melalui Bulog bertugas membeli gabah petani dengan harga tersebut.

Tetapi Bulog harus memiliki gudang yang baik karena saat ini rata-rata belum memenuhi persyaratan.

"Ini PR kita ke depan," kata Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra tersebut.

Pria yang juga mantan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI ini juga menyayangkan banyaknya lahan pertanian yang tergerus oleh perumahan dan industri.

Padahal kebutuhan pangan terus meningkat.

Sehingga ke depan, perlu dikaji ulang berbagai kebijakan agar para petani bisa menikmati untung dari hasil panen mereka.

Baca juga: Seharian Kerja di Bawah Terik Matahari, Buruh Tani Cuma Kantongi Rp50 Ribu, Enggak Dikasih Makan

Sebelumnya, ucapan Dedi Mulyadi jadi sorotan saat membandingkan harga beras sama skincare.

Calon anggota DPR RI dari Partai Gerindra tersebut berharap pola pikir masyarakat bisa diubah.

Ia pun membandingkan kebutuhan antara beras dan skincare.

Hingga kini kenaikan harga beras memang masih menjadi topik perbincangan masyarakat.

Meski stoknya disebut dalam kondisi aman, harga untuk beras premium saja saat ini mencapai Rp18.000 per kg.

Menurut Dedi Mulyadi, kenaikan harga beras kali ini seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak agar lebih menghargai keberadaan sawah.

Dia mengatakan, berkurangnya luas lahan sawah akan menurunkan jumlah produksi sehingga berdampak pada harga beras di pasaran.

"Setiap hari makan nasi dari beras, tapi tidak pernah menghargai sawah dan buruh tani.

Beras harus murah terus, tapi setiap hari perumahan, pabrik, ruko dibangun dengan menggusur sawah," kata Dedi Mulyadi dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kompas.com pada Kamis (29/2/2024).

Dedi Mulyadi menilai, pola pikir masyarakat juga perlu diubah agar bisa mengalokasikan keuangan secara baik dan tidak terjebak dalam konsumerisme.

"Harga skincare, rokok, HP, motor, baju naik diam saja, tetap beli.

Giliran harga beras yang naik ribut semuanya, seperti dunia mau kiamat," ujar Dedi.

Dia mencontohkan, satu kali membeli paket skincare, seseorang rela mengeluarkan uang minimal Rp150.000 per bulan.

Atau, lanjutnya, orang rela membayar setidaknya Rp20.000 demi membeli satu bungkus rokok per hari.

Dedi Mulyadi memanggul sekarung beras saat kegiatan Budaya Ruwat Jagat Mapag Hujan di Lembur Pakuan Subang, Jumat (27/10/2023).
Dedi Mulyadi memanggul sekarung beras saat kegiatan Budaya Ruwat Jagat Mapag Hujan di Lembur Pakuan Subang, Jumat (27/10/2023). (TribunJabar.id/Ahya Nurdin)

Padahal, tambah Dedi Mulyadi, uang yang dikeluarkan demi membeli rokok atau skincare bisa digunakan untuk membeli minimal 10 kg beras.

Berdasarkan data BPS dan Kementan, pada tahun 2022, rata-rata orang Indonesia mengkonsumsi beras sebanyak 0,222 kg per hari atau 10 kg beras untuk sekitar 40-45 hari.

"Jadi yang diutamakan itu bukan yang dipakai, tapi yang dimakan. Kita itu suka terbalik, mending makan hanya pakai sambal daripada tidak pakai gelang," ucap Dedi.

Menurutnya, tugas pemerintah selanjutnya tidak hanya memastikan ketersediaan dan meningkatkan produktivitas pangan tetapi juga memperbaiki pola pikir masyarakat.

Selain itu, Dedi Mulyadi menjelaskan, petani juga tidak boleh dirugikan, caranya, pemerintah harus membeli gabah ke petani dengan harga yang layak.

"Di negara lain, petani itu tidak berpikir apa pun, infrastruktur sudah baik, obat-obatan dan pupuk (tanaman padi) disiapkan negara, hasil produksinya dibeli, lalu disimpan di gudang, karena di gudang terlalu penuh, dikirimlah ke negara kita," tutur Dedi kepada wartawan, sebagaimana dalam video yang diunggah di akun Instagram-nya, Kamis (29/2/2024).

"Kalau ingin harga gabah standar, pemerintah harus membeli hasil produksi rakyat. Kemudian, pemerintah bisa menjualnya dengan harga standar, tidak boleh meningkat lagi," sambungnya.

Menurutnya, petani adalah kelompok masyarakat yang tidak pernah mengeluh meski dalam kondisi sulit.

Padahal mereka memberikan sumbangsih bagi ketahanan pangan negara.

"Mereka (petani) tidak pernah mengeluh, menanam lagi, dan tetap tidak berutang," pungkasnya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved