Ramdan 2024
Hukum Mokel di Bulan Ramadan, Viral Pria Batalkan Puasa Demi Temani Pacar Makan, Ustaz: Jahiliah
Aksi pria batalkan puasa demi temani makan pacar yang sedang datang bulan viral di media sosial. Ini hukum mokel di bulan Ramadan.
TRIBUNJATIM.COM - Mokel alias membatalkan puasa dengan sengaja tanpa alasan khusus, kerap jadi perbincangan di bulan Ramadan.
Istilah mokel kerap dijadikan candaan atau sengaja menyindir orang-orang yang tidak berpuasa.
Belakangan aksi pria mokel alias batalkan puasa demi temani makan pacar yang sedang datang bulan, viral di media sosial.
Si wanita bak merasa terharu akan perbuatan pacarnya.
Ia pun merekam kelakuan pacarnya yang sedang minum air di sebelahnya.
Aksi sejoli ini pun mendapat komentar keras dari ustaz, seorang khatib asal Malaysia bernama Da'i Wan.
Lantas apa hukum mokel di bulan Ramadan?
Khatib asal Malaysia bernama Da'i Wan baru-baru ini mengomentari tegas kelakuan pria mokel demi temani makan pacar sedang datang bulan.
"Keduanya bodoh"
Melalui postingan Da'i Wan di Instagram, ia menilai pasangan tersebut mungkin tidak mengetahui secara mendalam tentang hukum berbuka puasa dengan sengaja.
"Jika ada laki-laki seperti ini, keduanya berada dalam keadaan jahiliah.
Baik pria maupun wanita."
Kata khatib, laki-laki tidak boleh berbuka puasa dengan sengaja kecuali karena alasan yang masuk akal.
Jika tidak maka hukumnya haram dan dosanya besar serta puasanya tidak dapat digantikan sama sekali.
Baca juga: Hukum Marah dan Bertengkar saat Puasa Ramadan 2024, Dilengkapi dengan Hal-hal yang Bisa Membatalkan
Baca juga: Hukum Puasa Ramadan Tapi Tidak Sahur dan Lupa Baca Niat, Auto Batal? Berikut Penjelasan Buya Yahya
"Jika dilihat dari segi hukumnya, itu adalah dosa yang besar dan yang paling disayangkan, Anda tidak akan bisa mengqadha lagi sampai kapanpun.
Kehilangan 1 hari di bulan Ramadhan tahun itu, yang tidak dapat diganti, diklaim, atau ditebus.
Itu akan tetap menjadi dosa besar di akhirat nanti.
Ia pun menegur pria yang rela melanggar perintah Tuhan demi cinta pasangannya.
"Para ulama marah kepada mereka yang sengaja meninggalkan puasa, padahal kita rela demi 'Cinta', bahkan kita bisa meninggalkan puasa.
Omong kosong apa ini.

Saya sebagai seorang khatib merasa malu ketika melihat masih ada sebagian umat Islam kita yang belum mempunyai ilmu yang cukup."
Meski demikian, Da'i Wan juga berpesan kepada para generasi muda untuk tidak jatuh cinta terlalu dini agar tidak terbawa nafsu sendiri.
"Cinta bisa dibimbing meski buta, dengan menambahkan ilmu agar selalu ada di dada.
Baik laki-laki atau perempuan.
Bukankah jatuh cinta dengan memiliki ilmu lebih manis untuk dimanfaatkan bersama.
Jalani cinta dengan ilmu.
Biarlah cinta itu menjadi lilin yang mampu menerangi kegelapan orang lain."
Baca juga: Hukum Nonton Mukbang saat Puasa, Apakah akan Membatalkan? Simak Penjelasan Lengkap dari Ulama
Hukum mokel di bulan Ramadan
Berikut hukum membatalkan puasa dengan sengaja dari hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu,
dia berkata:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ لَمْ يُجِزْهُ صِيَامُ الدَّهْرِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ، فَإِنْ شَاءَ غُفِرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ.
Jika Allah berkehendak, Dia akan memberikan ampunan kepadanya dan jika Allah berkehendak, Dia akan mengadzabnya.”
Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu, juga pernah meriwayatkan sebuah hadits.
dia berkata:
“Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَيْنَمَا أَنَا نَائِمٌ أَتَانِي رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعِي -عَضَدِيْ- فَأَتَيَا بِي جَبَلاً وَعِرًا فَقَالاَ: اِصْعَدْ، فَقُلْتُ: إِنِّي لاَ أُطِيْقُ، فَقَالاَ: سَنُسَهِّلُهُ لَكَ. فَصَعَدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَادِ الْجَبَلِ إِذَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيْدَةٍ فَقَالاَ: مَا هَذِهِ اْلأَصْوَاتُ؟ قَالُوْا: هَذَا عَوَاءُ أَهْلِ النَّارِ، ثُمَّ انْطَلَقَا بِي فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مَعَلَّقِيْنَ بِعَرَاقِيْبِهِمْ مَشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيْلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا، قُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالَ: اَلَّذِيْنَ يُفْطِرُوْنَ قَبْلَ تَحِلَّةَ صَوْمِهِمْ -أَيْ قَبْلَ وَقْتِ اْلإِفْطَارِ
“Ketika tengah tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal seraya berkata:
‘Naiklah.’ Lalu kukata-kan: ‘Sesungguhnya aku tidak sanggup melakukannya.’ Selanjutnya, keduanya berkata: ‘Kami akan memudahkan untukmu.’
Baca juga: Hukum Kirim Video Makanan dan Minuman di WhatsApp atau Media Sosial ke Orang yang Berpuasa
Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung tiba-tiba ada suara yang keras sekali, maka kutanyakan: ‘Suara apa itu?’ Mereka menjawab:
‘Itu adalah jeritan para penghuni Neraka.’
Kemudian dia membawaku berjalan dan ternyata aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tu-mit mereka, mulut mereka robek, dan robekan itu menga-lirkan darah.’
Aku berkata, ‘Siapakah mereka itu?’ Dia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang yang ber-buka sebelum waktu berbuka.

Di samping itu, ada sembilan kategori orang yang diperbolehkan tidak puasa Ramadan, menurut Buya Yahya.
Berikut penjelasannya:
1. Anak kecil
Maksudnya, diantara orang yang boleh tidak puasa adalah anak yang belum baligh. Tanda baligh ada tiga, yaitu:
- Pertama yang keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun Hijriah.
- Kedua, keluar darah haid pada usia 9 tahun Hijriah (bagi anak perempuan).
- Ketiga, jika tidak keluar mani dan tidak haid maka ditunggu hingga umur 15 tahun.
Jika sudah genap 15 tahun maka ia disebut dengan telah baligh dengan usia, yaitu genap usia 15 tahun Hijriyah.
2. Gila
Orang gila tidak wajib puasa. Seandainya puasa maka puasanya pun tidak sah.
Dalam hal ini, ulama membagi orang gila menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, orang gila dengan disengaja.
Orang gila yang disengaja jika puasa maka puasanya tidak sah dan wajib mengqadha.
Sebab sebenarnya ia wajib puasa, kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila. Kesengajaan inilah yang membuatnya wajib mengqadha puasanya setelah sehat akalnya.
Kedua, orang gila yang tidak disengaja. Orang gila yang tidak disengaja tidak wajib ber puasa.
Seandainya berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqadha, karena gilanya bukan disengaja.
3. Sakit
Orang sakit boleh meninggalkan puasa.
Adapun ketentuan bagi orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah:
Sakit parah yang memberatkan untuk puasa yang berakibat semakin parahnya penyakit atau lambatnya kesembuhan.
Adapun yang bisa menentukan sakit seperti ini adalah dokter Muslim yang terpercaya dan berdasarakan pengalamannya sendiri.

Dalam hal ini, tidak terbatas kepada orang sakit saja.
Akan tetapi, siapa pun yang sedang puasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk puasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya.
Akan tetapi, ia hanya boleh makan dan minum seperlunya, kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang puasa.
Berbeda dengan orang sakit, ia boleh berbuka dan boleh makan sepuasnya untuk memulihkan kesehatannya.
4. Orang Tua
Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa diperkenankan untuk meninggalkan puasa.
Dalam hal ini, tidak ada batasan umur.
Akan tetapi, asalkan betul-betul puasa memberatkan baginya hingga sampai membahayakan maka ia boleh berbuka puasa.
5. Bepergian (Musafir)
Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini:
Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.
Di pagi (saat Shubuh) hari yang ia ingin tidak ber puasa, ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan).
Misalnya kata Buya Yahya :
Seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Jarak antara Cirebon – Semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km).
Ia meninggalkan Cirebon pukul 2 malam (Sabtu dini hari). Shubuh hari itu adalah pukul 4 pagi. Pada pukul 4 pagi (saat Shubuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes.
Maka, di pagi hari Sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.
Berbeda jika berangkatnya ke Semarang setelah masuk waktu Shubuh, Sabtu pagi setelah masuk waktu Shubuh masih di Cirebon.
Maka, di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk Shubuh ia masih ada di rumah.
Akan tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari Ahadnya, karena di Shubuh hari Ahad ia berada di luar wilayahnya.
Ada beberapa catatan khusus bagi yang melakukan berpergian saat puasa.
Seseorang dalam bepergian akan dihukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari.
Misalnya, orang yang pergi ke Semarang yang tersebut dalam contoh, saat ia sampai di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di Semarang juga tetap boleh berbuka, asalkan ia tidak bermaksud tinggal di Semarang lebih dari 4 hari.
Jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai di Semarang, ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqashar shalat.
Untuk dihukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti kesalahpahaman yang terjadi pada sebagian orang.
Akan tetapi, kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari, ia sudah disebut mukim.
Yang dihitung empat hari di sini adalah empat hari utuh, tidak dihitung hari masuk dan hari keluar, misal hari rabu siang dia sudah sampai di Semarang maka boleh dihitung hari pertama adalah malam Kamis, hari kedua adalah malam Jumat, hari ketiga adalah malam Sabtu, hari keempat adalah malam Ahad, dan dia keluar hari Senin maka hari Rabu saat ia datang dan hari Senin saat dia keluar tidak dihitung.
Begitu juga jika ada orang datang hari Sabtu siang, kemudian keluar hari Sabtu siang pekan berikutnya maka dua hari Sabtu tersebut tidak dianggap, sebab itu adalah hari keluar dan hari masuk yang tidak dihitung.
6. Hamil
Orang hamil diperbolehkan tidak ber puasa.
Adapun kategori orang hamil tersebut seperti orang hamil yang khawatir akan kondisi dirinya atau janin (bayinya).
7. Menyusui
Wanita yang tengah menyusui diperbolehkan tidak ber puasa apabila ia khawatir akan kondisi dirinya atau kondisi bayi yang masih di bawah umur dua tahun Hijriyah.
Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri, tetapi bisa juga bayi orang lain.
8. Haid
Wanita yang sedang haid tidak wajib ber puasa, bahkan jika ber puasa, puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.
9. Nifas
Terakhir adalah wanita yang sedang nifas tidak wajib ber puasa.
Jika ber puasa puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.
Berita tentang Ramadan 2024 lainnya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.