Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Ketua LK PBNU Gus Ufik Beber Bahaya Sound Horeg bagi Kesehatan Telinga

Ketua Lembaga Kesehatan PBNU, KH M Zulfikar Asad atau Gus Ufik, beberkan bahaya sound horeg bagi kesehatan telinga.

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Dwi Prastika
Instagram Darul Ulum Official
KONTROVERSI SOUND HOREG - Ketua Lembaga Kesehatan (LK) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH M Zulfikar Asad atau yang akrab disapa Gus Ufik, saat dilantik menjadi Rektor Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang, pada 5 Juli 2023. Ia beberkan bahaya paparan getaran sound horeg untuk kesehatan telinga. 

Poin Penting:

Laporan Wartawan TribunJatim.com, Anggit Puji Widodo

TRIBUNJATIM.COM, JOMBANG - Sound horeg, sistem pengeras suara dengan kekuatan ekstrem akhir-akhir ini semakin marak digunakan, terutama di wilayah pedesaan.

Di balik gegap gempita itu, ada bahaya serius yang mengintai.

Bukan hanya gangguan kenyamanan warga, tapi juga ancaman nyata bagi kesehatan pendengaran. 

Hal inilah yang menjadi perhatian Ketua Lembaga Kesehatan PBNU (LK PBNU), KH M Zulfikar Asad atau yang akrab disapa Gus Ufik.

Gus Ufik mengingatkan, paparan suara di atas ambang batas aman dapat mengakibatkan gangguan pendengaran permanen. 

“WHO dan Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa paparan suara di atas 85 desibel selama lebih dari 15 menit dapat merusak pendengaran. Sedangkan realitanya, sound horeg bisa mencapai lebih dari 100 desibel,” ucapnya, Kamis (24/7/2025).

Masalahnya, gangguan pendengaran bukan penyakit yang langsung terasa.

Efeknya bertahap, seringkali tanpa disadari hingga sudah terlambat. 

Baca juga: Karnaval Bersih Desa di Batu Bikin Jalan Alternatif Ditutup, Aturan Sound Horeg Dilonggarkan Khusus

Gus Ufik menyebut, selain hilangnya pendengaran secara perlahan, gangguan lain seperti tinnitus (denging telinga), stres, bahkan kerusakan fisik bangunan juga bisa terjadi akibat tekanan suara berlebih.

Di beberapa daerah, kejadian kaca pecah, genting bergetar, dan ketegangan antarwarga sudah menjadi bukti bahwa dampak sound horeg tak bisa dianggap remeh. 

Hal ini pun diperparah dengan minimnya kesadaran hukum maupun pemahaman tentang risiko kesehatan.

“Fenomena ini bukan cuma soal estetika hiburan. Ini sudah masuk ranah kesehatan masyarakat,” tegas pria yang juga Rektor Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang ini. 

Penggunaan pengeras suara memang telah menjadi bagian dari tradisi sosial.

Namun ketika tradisi berpotensi mengganggu atau bahkan mencelakai, maka intervensi melalui edukasi dan regulasi menjadi penting. 

Dalam hal ini, Gus Ufik memberikan apresiasi terhadap langkah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang mengeluarkan fatwa soal larangan penggunaan sound horeg secara berlebihan.

“Saya yakin fatwa tersebut bukan keputusan seketika. Pasti ada gelombang keluhan dari masyarakat yang resah,” katanya.

Namun demikian, Gus Ufik menekankan pentingnya pendekatan edukatif.

Menurutnya, pembatasan atau bahkan pelarangan tidak akan efektif tanpa diikuti oleh peningkatan kesadaran masyarakat, khususnya para penyedia jasa sound system dan para penyelenggara hajatan.

Solusi ideal bukan berarti mematikan hiburan rakyat. Yang dibutuhkan adalah penggunaan sound system yang bijak dan sesuai standar kesehatan.

Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, serta tokoh masyarakat punya peran penting dalam membangun pemahaman ini.

“LK PBNU siap untuk melakukan edukasi dan advokasi terkait persoalan ini. Kita perlu bicara bukan hanya dari sisi agama atau estetika, tapi juga dari sisi medis dan dampaknya terhadap kualitas hidup masyarakat,” ujar Gus Ufik yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan Jombang ini. 

Paparan suara 100 desibel ke atas bahkan tidak aman lebih dari 15 menit.

Dalam praktiknya, hajatan dengan sound horeg bisa berlangsung berjam-jam, bahkan semalaman. 

Ini ibarat menabung kerusakan yang suatu saat akan memunculkan ‘bunga penyakit’ dalam bentuk gangguan pendengaran.

Gus Ufik menutup pernyataannya dengan satu pesan kunci, kebijakan bisa dibuat, tapi jika masyarakat belum memahami dampaknya, kebisingan akan tetap menjadi musuh dalam selimut.

“Kalau masyarakat, terutama penyedia dan pengguna sound system, bisa sadar bahwa yang mereka lakukan itu bisa membahayakan telinga orang lain, maka pengendalian akan jauh lebih mudah dilakukan. Bukan dengan marah-marah, tapi dengan paham,” pungkasnya. 

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved