Berita Viral
Harga di Toko Rp 150 Ribu Per Stel Tapi Kuli Disuruh Beli Seragam SMP Anak di Sekolah Rp 1,2 Juta
Anak kuli baru saja diterima di SMP Negeri dan kini diminta untuk menebus paket seragam sekolah di awal tahun ajaran baru Rp 1,2 juta.
TRIBUNJATIM.COM - Pilu nasib pak HM, kuli bangunan yang terpaksa utang ke majikan tempatnya kerja.
Anak dari HM bersekolah di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Anaknya baru saja diterima di SMP Negeri dan kini diminta untuk menebus paket seragam sekolah di awal tahun ajaran baru.
Terdapat 3 bahan seragam, yakni bahan seragam OSIS, ciri khas sekolah dan bahan seragam Pramuka, serta 1 stel kaus olahraga.
Baca juga: Polemik Siswa Cabut Berkas dari SMP Swasta ke Negeri Berakhir, Ombudsman Minta SPMB Transparan
Totalnya mencapai Rp1,2 juta.
Harga tersebut disebut-sebut lebih mahal dibandingkan harga di toko dan seragam yang sudah jadi.
Selain menebus paket seragam sekolah, Pak HM juga harus dipusingkan kebutuhan dana untuk menjahitkan bahan seragam itu.
"Ongkos jahit hingga Rp450 ribu untuk tiga stel bahan seragam sekolah."
"Saya terpaksa memberanikan diri berutang ke majikan," ujarnya kepada Tribunjateng.com, Selasa (29/7/2025).
Pak HM menuturkan, dia mematuhi arahan sekolah karena takut jika membeli di luar sekolah akan membuat anaknya bermasalah dalam pendataan.
“Katanya nanti enggak dicatat, beda kelas sendiri."
"Saya takut anak jadi malu."
"Tapi mengapa harus semahal itu."
"Padahal saya tahu harga pasaran jauh lebih murah."
"Padahal saya sudah beli seragam OSIS biru putih di toko seragam di sini, harganya Rp150 ribu satu stel sudah jadi."
"Tapi tetap diarahkan harus dari pihak sekolah."
"Katanya biar seragam, enggak beda," terangnya.
Keresahan seperti itu tak hanya dirasakan Pak HM.
Seorang pedagang bakso keliling bahkan harus merasakan pahitnya awal tahun ajaran baru 2025/2026 kali ini.
Mang ST, setiap hari berkeliling dari kampung ke kampung berharap dagangannya laku untuk sekadar mencukupi makan anak-istri.
Namun, tahun ini dia terpaksa menyisihkan pendapatan harian demi seragam anaknya.
“Anak saya bangga bisa masuk SMP Negeri, tapi saya malah bingung."
"Harga seragamnya bisa buat modal saya seminggu jualan."
"Tapi kalau enggak ikut beli, takutnya anak saya bisa diperlakukan beda."
"Ini sekolah atau koperasi?"
"Tapi sudah terlanjur saya bayar."
"Tapi tidak diberikan kuitansi oleh pihak sekolah."
"Katanya nanti mau dikasih."
"Saat itu hanya mengisi lembar kertas pesanan,” tanya Mang ST.
Sebagai pedagang bakso keliling yang tak menentu penghasilannya, Mang ST berharap ada perubahan kebijakan yang memberikan pilihan bebas kepada orangtua untuk membeli seragam sesuai kemampuan, tanpa tekanan.
“Biar kami bisa tetap kasih yang terbaik buat anak, tanpa harus berhutang duluan hanya untuk beli bahan baju seragam,” harapnya.
Beberapa cerita orangtua siswa itu setidaknya berbeda dengan pernyataan pihak Dindikpora Kabupaten Brebes.
Sebelumnya disebutkan jika tidak ada kewajiban membeli seragam dari koperasi atau rekanan di sekolah.
Reaksi Dindikpora Brebes
Namun pada kenyataannya para guru dan wali kelas kerap menjadi penyambung lidah sistem yang diam-diam seolah tak memberi pilihan.
“Sekolah memang ada menyediakan seragam melalui koperasi, tapi tidak wajib," ujar Kepala Dindikpora Kabupaten Brebes, Caridah.
Caridah menyebut, tidak mengetahui adanya rekanan penyedia dari luar.
"Seragam diserahkan sepenuhnya ke masyarakat."
"Namun ada sekolah yang menyiapkan di koperasi sekolah atau pihak lain."
"Silakan jika masyarakat mau pesan."
"Dalam aturan juga tidak ada pemaksaan pembelian seragam di sekolah."
"Jadi, tergantung kebutuhan wali murid," katanya.
Terpisah, Bupati Brebes, Paramitha Widya Kusuma merespon terkait isu pungutan pembelian bahan seragam sekolah tersebut.
Pihaknya menyebut, sekolah tidak boleh membebankan kepada wali murid.
“Seragam itu tanggungan personal siswa dan tidak boleh menjadi bagian dari kewajiban yang dibebankan melalui sekolah,” tegasnya.
Paramitha menegaskan, tidak boleh ada bentuk diskriminasi terhadap siswa yang mengenakan seragam dari luar jalur pembelian sekolah.
Termasuk dalam hal pencatatan administrasi, pembagian kelas, atau perlakuan di dalam proses pembelajaran.
“Sekolah tidak boleh melakukan pembedaan atau tekanan terselubung dalam bentuk apapun terhadap siswa."
"Seragam bukan penentu kualitas belajar."
"Yang dibutuhkan anak-anak ini pendidikan yang ramah, adil, dan setara."
“Selama seragamnya sesuai ketentuan model dan warna, tidak ada alasan sekolah menolak atau mendiskriminasi,” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com
Kisah Ridho Terpaksa Berhenti Kuliah karena Tak Punya Biaya, Kerja Paruh Waktu Tak Bisa Mencukupi |
![]() |
---|
Sosok Ida Yulidina, Istri Menkeu Purbaya Pernah Jadi Model Majalah, Gaya Hidupnya Jadi Sorotan |
![]() |
---|
Apa Itu Nepo Baby? Disorot Mendagri Tito Karnavian saat Bahas Gaya Hidup Pejabat: Jangan Flexing |
![]() |
---|
Harta Kekayaan Widiyanti Putri, Menteri Pariwisata Diduga Mandi Air Galon saat Kunjungan Kerja |
![]() |
---|
Pengakuan FT Sebar Video Wahyudin Moridu 'Rampok Uang Negara', Kesal Minta Nikah Tak Dituruti? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.