Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Penumpang Bus Takut Sopir Ngantuk Jika Tak Putar Musik: Emang Pemerintah Mau Tanggung Jawab?

Kebijakan pemerintah soal royalti musik membuat para sopir bus antarkota tak mau memutar lagu. Rupanya, ini membuat penumpang khawatir.

Penulis: Ani Susanti | Editor: Mujib Anwar
KOMPAS.com/ SHINTA DWI AYU
POLEMIK ROYALTI MUSIK - PO bus di Tanjung Priok, Jakarta Utara, tak lagi menyetel lagu ketika beroperasi. Sejumlah penumpang di Terminal Tanjung Priok, Jakarta Utara, mengaku tak setuju pengenaan royalti lagu yang diputar di dalam bus antarkota. 

TRIBUNJATIM.COM - Kebijakan pemerintah soal royalti musik membuat para sopir bus antarkota tak mau memutar lagu.

Rupanya, keheningan di sepanjang jalan membuat penumpang khawatir.

Para penumpang di antaranya takut sopir bus akan mengantuk, hingga membahayakan keselamatan.

"Takut banget lah sopir malah mengantuk, entar malah bahayain penumpang," ucap salah satu penumpang bus bernama Rexy (30) saat diwawancarai di Terminal Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (19/8/2025).

Rexy menambahkan, sebagai penumpang saja ia kerap merasa mengantuk jika tidak ada musik di dalam bus.

"Kalau sopir mengantuk dan celaka, emang pemerintah mau tanggung jawab?" ujar Rexy, seperti dilansir dari Kompas.com.

Sama seperti Rexy, penumpang lain bernama Erni (28) juga takut apabila sopir bus mengantuk karena tak ada musik yang diputar.

"Takut sih jujur, padahal kalo semisal ada musik sopir juga bisa ikut menyanyi tipis-tipis biar enggak diam aja tiba-tiba mengantuk," kata Erni.

Karena itu, Erni sangat menyayangkan kebijakan pemerintah soal royalti musik. Sebab, bagi dia musik merupakan hiburan paling murah untuk masyarakat.

"Aneh sama negeri ini, apa-apa diduitin. Padahal, musik hiburan paling murah untuk rakyat dan enggak perlu keluar banyak," kata Erni.

Rexy, menilai, kebijakan itu justru akan merugikan musisi Indonesia.

Sebab, mereka tidak bisa mempromosikan lagunya di bus antarkota.

"Sayang banget, gara-gara keserakahan pemerintah soal royalti, penyanyi Indonesia enggak bisa promo lagu gratis di bus antar kota," ujar Rexy.

Baca juga: Pengusaha Bus Pasuruan Berencana Ganti Musik dengan Putar Ludruk hingga Ceramah Agama

Bagi Rexy, pemutaran lagu di dalam bus bisa memperluas khazanah musiknya. Namun, dengan adanya kebijakan royalti lagu membuat hal itu sirna.

"Kadang ketika naik bus saya jadi tahu oh ada lagu dangdut ini dan enak karena sepanjang perjalanan diputar ulang lama-lama saya kepo sama penyanyinya," ucap dia.

Selain itu, dengan tidak diputarnya lagu di dalam bus membuat kondisi di moda transportasi itu menjadi sunyi dan tak lagi menyenangkan.

"Agak aneh sih, sepi banget jadinya sepanjang perjalanan juga. Enggak bisa dengar lagu dangdut lagi, padahal kan itu ciri khas bus antarkota," kata Rexy.

Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, hingga hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko mengatakan aturan ini tetap berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan musik digital seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music.

"Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah," kata Agung dalam keterangan tertulis, Senin (28/7/2025).

Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

LMKN bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait.

Kata Pengusaha Bus

Penerapan royalti musik yang muncul dari Lembaga Menejemen Kolektif Nasional (LMKN) masih menjadi polemik bagi pengusaha bus.

Mereka lebih memilih bus tanpa alunan musik, dengan memberitahukan terlebih dahulu pada calon customer bus soal hal ini.

Gunawan Agung Aprilianto, pemilik perusahaan otobus (PO) Pandawa 87 asal Kota Pasuruan, Jawa Timur, memilih tidak memutar musik di bus setelah adanya pemberlakuan royalti musik oleh LMKN.

"Kami sampaikan kepada calon customer atau penyewa bahwa bus untuk sementara tidak memutar musik atau bus dalam keadaan hening tanpa musik selama perjalanan," ujar Gunawan pada Kompas.com, Kamis (21/08/2025).

Dia tidak mau berspekulasi terkait pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Selama ini, pihak otobus belum menerima sosialisasi terkait royalti.

Ia khawatir akan muncul tagihan yang nernilai fantastis jika musik tersebut dihitung berdasar jumlah unit. 

"Kalau penerapan royalti tersebut berbasis armada atau jumlah bus menjadikan beban operasional semakin tinggi," katanya.

Baca juga: Bus Stop Putar Musik Takut Ditagih Bayar Royalti Miliaran, Ibu-ibu Protes Perjalanan Jadi Sepi

Untuk itu, pihaknya berharap pemerintah segera menyosialisikan besaran yang dikenakan pada bus, atau tidak serta merta memberi tagihan seperti yang pernah dialami oleh pengusaha resto atau hotel.

Ia mengaku meminta pada kru bus untuk menempelkan stiker pada bus sebagai pemberitahuan tidak menyediakan musik.

"Kalaupun ada penyewa yang menginginkan ada musik ya dimasukkan pada paket jualnya," katanya.

Saat ini, jumlah armada bus milik PO Pandawa 87 sebanyak 200 unit yang melayani untuk pariwisata dan reguler antarkota antarprovinsi (AKAP).

Ia mengatakan, jumlah penyelenggara bus cenderung menurun seiring kondisi ekonomi masyarakat sedang lesu.

Kondisi ini diperparah dengan surat edaran kepala daerah yang melarang siswa untuk outing class atau bertamasya ke luar kota.

"Pemerintah itu seharusnya mempermudah dan tidak membuat bingung para pengusaha dengan aturan baru. Terutama soal pajak atau pembayaran royal musik seperti itu," katanya.

Syafril, salah satu pengusaha bidang travel asal Pasuran juga mengungkapkan, sejak adanya aturan royalti musik, pihaknya melakukan penyesuaian paket harga. Ada juga PO bus masih menerapkan musik berbayar.

"Ya terpaksa membuat paket harga baru karena sebagian bus yang disewa tidak berkenan memutar musik yang berkategori atau tercatat di LMKN dan konsekuensinya berbayar royalti," ujarnya.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved