Perajin Tempe Tradisional di Desa Panarukan Malang Terancam Punah, Tak Diminati Generasi Muda

Penulis: Erwin Wicaksono
Editor: Sudarma Adi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Salah satu pengrajin tempe di Desa Penarukan, Kecamatan Kepanjen, sedang memilah kedelai yang sudah didiamkan selama semalam, di dapur rumahnya, Selasa (25/2/2019).

TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Tangan tua Satuni tetap cekatan merangkai butir demi butir kedelai yang akan dicetak menjadi tempe.

Meski sudah berusia 57 tahun, perajin tempe tradisional yang sudah memulai usaha sejak tahun 1977 itu, masih konsisten jalankan usaha hingga kini.

Satuni masih ingat betul bagaimana dulunya di Desa Panarukan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang ini masih banyak perajin tempe.

Tiga Hari Pelipatan, KPU Kota Malang Temukan 15 Surat Suara Rusak

Jawa Timur Beri Subsidi SPP Gratis, Lima SMA Swasta di Malang Tidak Ikut Mengajukan

Namun, seiring dengan perkembangannya, jumlah tersebut kian menyusut.

"Di sekitar rumah saya RT 5, RW 5 dulunya ada 15 perajin tempe. Sekarang sudah tua-tua. Tinggal 3  yang masih bertahan termasuk saya," terang Satuni ketika ditemui saat memilah biji kedelai di dapur rumahnya, Selasa (25/2/2019).

Satuni menyadari, memproduksi tempe memang tak diminati oleh generasi muda. Proses yang panjang hingga dibutuhkan ketelatenan agar menciptakan tempe berkualitas, jadi alasan regenerasi perajin tempe tradisional mandek.

Setelah Dicat Ulang, Tribun Stadion Kanjuruhan Malang akan Dipasangi Atap dan Kursi

Satuni pun tak bisa membayangkan, jika suatu saat ia tak bisa lagi  memproduksi tempe.

"Anak-anak tidak minat neruskan usaha keluarga (tempe) katanya berat. Banyak alasan, memang prosesnya (buat tempe) panjang. Tapi sak jane ngge mboten abot (Tapi ya gak sesusah itu sebenarnya)," ujar Satuni.

Satuni yang setiap hari memproduksi tempe bersama suaminya Wakino (59) sedikit bercerita proses cukup panjang produksi tempe.

Setiap pukul 05.00 WIB, ia langsung memilah kedelai untuk didiamkan didalam panci besar berisi air. Lama kedelai didiamkan ke dalam air yakni selama semalam.

Sekali produksi, Satuni menghabiskan 20 kilogram kedelai untuk tempe dan 5 kilogram kacang untuk tempe kacang.

Dengan telaten ibu dua anak itu tekun memproduksi tempe di dapurnya yang sangat tradisional. Semua proses produksi dilakukannya dengan manual.

Tungku pembakaran pun masih menggunakan kayu untuk mengurangi biaya produksi.

"Didiamkan di air agar kedelainya mengembang dan tekturnya gak gampang hancur, serta memisahkan kulitnya," terang Satuni mencontohkan.

Proses pembuatan tempe, tak bertahan disitu saja. Masih ada proses perebusan, hingga pergantian ari selama dua kali.

Halaman
12

Berita Terkini