Surya : Sistem seperti apa yang harus dibenahi?
Ghufron : Bagaimana seutuhnya itu bagaimana mengembalikan kerugian negara secara keseluruhan, lewat pencegahan itu. Pencegahan itu mikro dan makro. Saat ini yang terjadi masih mikro saja, seperti mulai dari perencanaan, penganggaran, sampai pengawasan di pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Juga ada sistem wistle-blower. Nah, sedangkan makro ini bagaimana antikorupsi itu dibangun dari sistem politik. Sistem politik kita sedang sakit, tidak benar. Harapannya nanti Pemilu menemukan figur yang secara alami dipilih oleh rakyat, bukan didorong dengan 'money politic'. Kenapa ini masih menjamur karena ekonomi masyarakat dan pendidikan masyarakat masih rendah. Seharusnya ada pendidikan politik dan kedewasaan berpolitik dari kader partai, kepada masyarakat. Karena saat figur kepala daerah atau anggota dewan yang terpilih memakai cara itu, maka ketika terpilih yang dipikirkan bagaimana mengembalikan modal, akhirnya ada transaksional. Andai semua instansi diberi enyadap, pasti di dalamnya ada transaksi korup, karena proses politik yang rusak.
Surya : Bersih dan sehatnya pembangunan nasional menjadi sistem makro pencegahan korupsi?
Ghufron : Iya, sistem makro ini dari pembanguna nasional. Bagaimana pencegahan dimulai dari pendidikan secara benar, juga pembangunan ekonomi, serta politik melalui kesadaran di kaderisasi. Tidak hanya menggunakan calon yang bermodal besar sebagai ukuran, atau mereka yang berpotensi mendulang suara saja. Dalam hal ini KPK harus bersinergi dengan semua pihak, aparat dan partai politik. Saya mengibaratkan korupsi itu dengan pemakai narkoba. Baik korban dan pelaku semuanya akan menjadi korban. Contoh, ada cash-back 15 - 20 persen atas sebuah proyek. Ketika ada anggaran yang dipotong, logikanya kan kontraktor mengurangi pembangunannya. Sementara itu nanti, bangunan diberikan kembali ke saya, misalkan. Jadinya saya kan juga rugi ketika mendapatkan bangunan yang nilainya kurang. Contoh lain, ada penegak hukum yang menerima uang dari seseorang yang ingin masuk ke lembaga itu. Mungkin untung ketika itu. Penerima dan pemberi uang untung ketika itu. Sedangkan ada orang lain yang tidak lolos jadi korban. Itu korban mikronya. Makronya apa, ke depan, ketika lembaga itu ternyata mendapatkan SDM yang tidak kapabel, yang rugi kan lembaganya itu. Itu makronya. Artinya apa, semua pemahaman itu harus ditanamkan, dampak kerugian dari korupsi secara makro.
Surya : Pendapat anda tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT)?
Ghufron : OTT itu terjadi saat melaksanakan, atau pada saat setelah melaksanakan. Saya tidak mempersoalkan perihal OTT-nya, namun proses penyadapan jika itu dilakukan dalam OTT. Dalam aturan hukum, penyadapan itu dilakukan dalam kerangka penyidikan dan penuntutan. Jadi sudah ada peristiwa hukumnya, baru penyadapan ada. Peristiwa hukumnya ada, barulah boleh disadap. Pertanyaan saya jika OTT sekarang terjadi, maka kapan penyadapan dilakukan?. Mungkin masyarakat senang melihat OTT yang sekarang ini, karena sudah geram dan benci pada koruptor. Namun apa yang dilakukan dalam penindakan jangan sampai menabrak instrumen hukum yang berlaku.
Surya : Apa yang perlu diperbaiki dalam penegakan hukum di KPK?
Ghufron : Selama itu masih berada di kewenangan KPK, tentunya apa yang perlu diluruskan masih bisa diubah. Seperti kewenangan penahanan tersangka. Memang penyidik boleh menahan seorang tersangka, namun tidak wajib. Boleh menahan kalau dikhawatirkan tersangka mengulangi perbuatan, melarikan diri, dan menghilangkan alat bukti. Kalau khawatir itu terjadi, kan bisa ada proses lain yakni melakukan pencekalan, serta menyita semua alat bukti. Ingat upaya paksa itu dilakukan karena dua asas yakni kebutuhan, dan proporsional. Namun beda halnya jika kebijakan itu berada di level UU yang menjadi ranah di luar KPK.
Semua pendapat hukum saya, sudah saya ungkapkan, bahkan sudah saya tulis juga. Masyarakat bisa membacanya, dan tidak akan saya ubah hanya karena saya mendaftar Capim KPK. Saya tidak ingin ikut genderang yang ditabuh oleh siapapun. Saya berpendapat sesuai dengan aturan dan instrumen hukum karena saya ahli hukum.
Surya : Bagaimana dengan konflik kepentingan sejauh ini?
Ghufron : Sejauh ini tidak ada. Kalau memberikan doa dan ucapan dukungan memang iya. Namun apakah ada deal-deal maka itu tidak ada. Kalaupun nanti fit and proper test di DPR RI, tidak ada deal-deal apalagi dalam rangka titip-titip kasus karena itu melanggar itikad saya mendaftar sebagai Capim KPK, atau mengurangi independensi KPK. Saya siap tempur.
Surya : Terakhir, anda saat ini lolos di tahapan Capim KPK, tetapi juga masih mendaftar sebagai bakal calon rektor Universitas Jember?
Ghufron : Semuanya bagi saya itu linier, dan tidak ada persoalan. Wong masih calon. Capim KPK ini linier dengan keahlian saya di hukum pidana. Sedangkan rektor itu linier jenjang karir saya di lembaga pendidikan tinggi. Semuanya masih calon. Kalau disebut serakah, biar saja orang menilai, namun bagi saya tidak. Karena ini masih calon, kecuali kalau sudah jadi. Serakah itu kan sudah megang satu, namun masih ingin satunya lagi. Dan dari estimasi waktu, tidak bertabrakan dan saling ganggu. Proses Capim KPK paling pertengahan September selesai. Sedangkan Pilrek masih lama (sampai Januari 2019). ( Sri Wahyunik/Tribunjatim.com)