Jadi, radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama, ini bukan monopoli satu agama. Tapi ada di setiap agama, di setiap kelompok, di setiap bahkan potensial pada setiap individu manusia.
Enggak melihat profesi, enggak melihat pangkat, jabatan, tidak melihat tingkat intelektualitas seseorang, paham ini bisa menyasar siapa saja.
Ya, cuman memang biasanya kebanyakan itu menyasar pada generasi muda. Nah, kalau generasi muda ini kan kalau para pengamat kan sering membagi, ada yang namanya generasi Z, itu umur 14-19 tahun, generasi milenial umur 20-39 tahun, generasi X umur 40-55 tahun.
Jadi karena ini potensi ada pada setiap manusia. Nah, potensi radikal tadi akan muncul menjadi niat atau motif radikal kalau didorong dipicu oleh beberapa faktor, yang sering disebut faktor korelatif kriminogen.
Salah satunya politisasi agama, kebodohan, pendidikan, kemiskinan, kesejahteraan, ekonomi, Ketidakadilan sosial, ketidakpuasan politik, rasa benci dan dendam kepada lain kelompok lain pada negara, sistem hukum dan pemerintahan yang lemah.
Ya, kenapa kok saya katakan sistem hukum dan pemerintahan yang lemah. Karena memang UU kita itu mampu menjerat aksi terorismenya.
Meskipun bisa ditindak sebelum melakukan aksi, tapi kalau sudah masuk dalam jaringan teror dan beberapa kriteria yang tadi saya sebutkan; sudah liqo, sudah baiat, sudah masuk jaringan teror, sudah melakukan latihan perang dan lain sebagainya. Tetapi paham radikalismenya ini belum ada regulasinya.
Kalau dulu kan ada Undang-Undang Anti Supersif ketika orde baru. Nah kalau di Malaysia di Singapura itu ada internal security X, itu yang melarang semua paham ideologi, ya yang bertentangan dengan konstitusi. Kita belum ada itu.
Jadi negara kita baru ada Undang-Undang Nomor 27/1999 yang merupakan breakdown dari TAP MPRS nomor 2/1966 itu melarang tentang in komunisme, marxisme, leninisme.
Sementara ideologi yang lain yang bertentangan dengan Pancasila, belum ada. Misalnya khilafah, daulahisme, atau kekhilafah, atau liberalisme, kapitalisme, dan isme-isme yang lain yang tangan dengan konsensus nasional; Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI.
Sehingga penanganannya harus dilakukan secara soft approach (SA) dan hard approach (HA). SA itu untuk radikalismenya, dar hulunya. Dan HA itulah law enforcement penegakan hukum pada jaringan teror itu.
Nah, kembali ke tadi. Ketika manusia setiap manusia punya potensi radikal dan akan menjadi niat radikal atau motif radikal kalau dipicu oleh faktor korelatif kriminogen tadi, ya. Ekonomi ketidakadilan, kebodohan, politisasi agama, sistem hukum dan pemerintahan yang lemah, ketidakpuasan dan lain sebagainya.
Ketika ketemu dengan lingkungan. Atau sering disebut momen, kesempatan, polis hasad, berupa lingkungan yang radikal, Ustad yang radikal kemudian jaringan terorisme, kemudian logistik adanya support logistik dana dan lain sebagainya.
Kemudian pergaulan dunia medsos, dunia maya yang konten-kontennya radikal, yang mengajarkan paham takfiri, yang mengajarkan paham-paham jihad secara salah menyimpang.
Niat, ketemu kesempatan, terjadilah aksi terorisme.
#Bagaimana upaya penanggulangannya?