Reporter: Rahadian Bagus | Editor: Januar AS
TRIBUNJATIM.COM, MADIUN - Kapal selam menjadi indikasi kekuatan militer Angkatan Laut suatu negara. Indonesia sempat memiliki Angkatan Laut yang diperhitungkan dunia pada 1960-1970-an.
Seorang pensiunan kelasi KRI Pasopati bernama Soewarto (80) asal Madiun menceritakan pengalamannya menjadi awak kapal selam milik TNI Angkatan Laut.
Pria kelahiran 22 September 1941 ini pernah menjadi awak kapal selam KRI Pasopati, Bramastra, Trisula, Cakra, Naga Rangsang, dan Tjandrasa. Ia bertugas sebagai Markonis yang mengoperasikan radio perangkat hubung bagi (PHB).
Baca juga: Terjawab Penyebab Kasus Mayat Wanita Hamil di Surabaya, Suami Korban Tak Berkutik
"Saya di bagian PHB, tugasnya mengirim dan menerima berita menggunakan sandi morse," kata Soewarto, saat ditemui di rumahnya, Jalan Mayjend Sungkono no 73 Kelurahan Nambangan Lor, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.
Ia bertugas sebagai operator radio atau alat komunikasi yang bertanggung jawab menjaga keselamatan kapal dari marabahaya baik yang ditimbulkan dari alam, atau serangan dari musuh.
Soewarto menuturkan, sejak usia 23 tahun dia
mulai bergabung dengan Korps Komando Operasi (KKO), nama korps marinir TNI Angkatan Laut saat itu. Ia mengaku, tertarik menjadi awak kapal selam karena pada saat itu ingin berjuang demi negara, ketika terjadi konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, sekitar 1963-1964.
"Pada waktu itu, ramai-ramainya Ganyang Malysia," kata pria bujangan ini.
Anak nomor enam dari sepuluh orang bersaudara ini harus melalui serangakaian tes, hingga akhirnya diterima menjadi anggota KKO. Setelah diterima, ia mengikuti pelatihan selama dua tahun.
Selama menjadi anggota KKO, ia ditugaskan sebagai Markonis hingga ia pensiun pada 1993 dengan pangkat terakhir Sersan Kepala (Serka).
Soewarto sudah puluhan tahun terlibat dalam berbagai misi dan operasi. Ia sudah berkeliling di seluruh perairan laut Indonesia dengan menggunakan berbagai kapal selam.
Banyak pengalaman dan kisah menegangkan ketika berada di dalam kapal selam dengan kedalaman menyelam rata-rata sekitar 60 meter. Namun sayang, usianya yang sudah sepuluh windu, membuat daya ingat Soewarto berkurang.
Ia tidak dapat menceritakan secara detail bagaimana kisahnya selama menjadi awak kapal selam. Selain itu, sudah sekitar sepuluh tahun, kakinya lumpuh sehingga ia hanya bisa di dalam rumah sepanjang hari.
Meski demikian, ia masih ingat beberapa kisah yang dialaminya ketika menjadi awak kapal KRI Pasopati. Satu di antarnya ketika ia ditugaskan bersama 59 orang yang lain untuk melakukan patroli di perbatasan laut antara Timor Timur (Timtim) dengan Australia.
"Waktu itu kami ditugaskan untuk patroli dengan Kapal Pasopati, di perbatasan Timor Timur," katanya.