Seseorang yang menyampaikan kata-kata toxic positivity kemungkinan tidak bermaksud buruk karena ia ingin menyemangati orang lain yang sedang tertekan.
Namun cara penyampaiannya yang salah justru akan berakibat buruk pada orang tersebut.
Salah satu contoh kalimat toxic positivity yang paling sering diucapkan adalah "Kamu lebih beruntung, masih banyak orang yang lebih menderita dari kamu" dan "Jangan menyerah. Aku saja bisa, masak kamu enggak?".
Kedua kalimat tersebut memang bersifat penyemangat, namun pada saat yang sama dia juga menjadi "serangan identitas" yang dilontarkan tanpa sadar.
Padahal, yang benar-benar dibutuhkan seseorang saat merasa sedih atau tertimpa musibah adalah empati, bukan sekadar kata-kata penyemangat .
Pada akhirnya, sikap toxic positivity hanya akan menimbulkan berbagai perasaan tidak nyaman yang jika terus dibiarkan akan memicu gangguan mental.
Bahaya banget, kan?
Ciri-Ciri Toxic Positivity
Toxic positivity sering kali tidak disadari, karena itulah penting untuk memahami ciri-cirinya agar kamu dapat memahami perilaku tersebut.
Dengan menyadarinya lebih awal, kita akan dapat menjaga kesehatan mental secara lebih baik.
Ciri pertama toxic positivity yang patut diwaspadai adalah menyembunyikan perasaan yang sebenarnya atau tidak jujur pada diri sendiri.
Perilaku ini biasanya dipicu oleh kekhawatiran akan dianggap lemah oleh orang lain, sehingga ia akan berusaha untuk menonjolkan sisi positifnya saja.
Padahal, mengenali masalah penting dilakukan agar kita dapat menemukan solusi terbaik.
Memberi motivasi yang bersifat menghakimi adalah ciri lainnya dari perilaku toxic positivity.
Hal ini dapat ditemukan dalam beberapa kata penyemangat seperti "Untuk apa terus bersedih? Padahal banyak yang lebih menderita dari kamu" dan "Jangan dipikirkan terus, ambil sisi positifnya aja!"