"Para predator" itu biasanya pada tahap awal tampak bersikap normal, tetapi secara bertahap membangun keintiman.
Setelah menjalin interaksi yang ramah dengan anak, "si predator" dapat memperkenalkan topik seksual, mengirimkan gambar atau video eksplisit kepada anak tersebut.
Itu dapat membentuk semacam "hubungan khusus" atau rahasia bersama.
Si pelaku kemudian dapat menggunakan rahasia bersama mereka sebagai ancaman untuk mencoba meyakinkan si anak untuk terlibat dalam perilaku tidak pantas lainnya.
Itu sering kali merupakan upaya untuk menarik korban ke dalam skenario kompromi lebih lanjut yang dapat digunakan sebagai pemerasan untuk memperdalam hubungan mereka.
"Para predator" dapat mengancam untuk memberi tahu orang tua atau figur otoritas lainnya tentang hubungan mereka, jika korban tidak memenuhi tuntutannya.
Tuntutan tersebut dapat mencakup permintaan untuk mengirimkan gambar atau video yang tidak pantas dari korban atau permintaan untuk bertemu langsung.
Baca juga: Arti Kata ETA, Bahasa Gaul Viral di Medsos Gegara NewJeans, Tak Sekadar Judul Lagu, Membahas Waktu
"Sudah pasti penggunaan media sosial secara dini meningkatkan risiko child grooming," tutur dr. Anggia.
Oleh karena itu, orangtua harus mencegah dampak media sosial ini.
Salah satunya adalah memfasilitasi media sosial di saat usia anak telah siap.
Dr. Anggia mengatakan bahwa anak usia setidaknya 13 tahun dapat mulai dikenalkan dengan media sosial karena sudah bisa mandiri dalam memanfaatkan gawai dan menatap layar.
Meski begitu, anak tersebut tetap membutuhkan pengawasan orangtua.
Menurut Parents, anak usia 13 tahun masih dalam proses mengembangkan identitas dirinya.
Sementara, media sosial sering menciptakan pandangan menyimpang tentang harga diri dan relasi antarindividu.
Pada usia 13 tahun ke atas, Dr. Anggia menyarankan orangtua masih menerapkan batasan terbuka untuk penggunaan media sosial disertai penjelasan apa saja yang boleh dan tidak boleh.