Graha Wismilak Surabaya Disita

BREAKING NEWS: Cagar Budaya Graha Wismilak Surabaya Disita Polda Jatim, Diduga Terkait Korupsi

Penulis: Luhur Pambudi
Editor: Ndaru Wijayanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Situasi Graha Wismilak yang ditempeli plakat keterangan informasi keterangan penyitaan Polda Jatim. BREAKING NEWS: Gedung Cagar Budaya Graha Wismilak Surabaya Disita Polda Jatim, Diduga Terkait Korupsi

Memang saat ini beliau tidak muda lagi, dan sudah berusia 96 tahun. Tetapi semangat dan daya ingatnya tidak pudar. Dengan digandeng cucu dan kadang tongkat, beliau menyusuri tangga demi tangga Grha Wismilak penuh semangat untuk bercerita tentang gedung ini.

Saat itu, 1936, Pak Oei Hian Hwa berusia 22 tahun. Menurutnya Grha Wismilak dahulu adalah Toko Yan, cabang dari Toko Piet (kemudian menjadi Toko Metro) di jalan Tunjungan. “Gedung ini dulu yang ada di loteng 26 orang, sebab dibuat mess pegawai toko Piet dan Toko Yan, khusus yang tidak punya rumah tangga, termasuk saya. Di sini ada empat kamar dan di bagian depan dipakai untuk main ‘ping-pong’ sedangkan di bawah untuk toko, sedangkan halaman samping untuk badminton,” terang Pak Oei Hian Hwa. Sebagai pegawai administrasi, sepengetahuannya, Toko Yan menyewa secara bulanan dari seorang bernama Han Sing Kien di Jl. Ngemplak yang saat ini menjadi markas Garnisun Kota Surabaya. Dengan rinci Pak Hian Hwa menjelaskan dengan sebuah peta yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Beberapa waktu sebelum Jepang masuk ke Surabaya di tahun 1942, toko Yan ditutup. Barang-barang yang masih ada dibeli secara ‘bon’ oleh bangsa Belanda di sekitar Coen Boulevard (Jl. Dr. Soetomo sekarang). “Sisanya, kata pemilik, boleh diambil oleh pegawai di situ. Sampai sebuah bom dijatuhkan pesawat Jepang di Tegalsari, Tunjungan dan Ngagel. Di situ baru terasa orang, kacaunya bukan main. Listrik trem tidak jalan, taksi ndak ada, tidak ada becak, semua naik sepeda,” kenang Pak Oei Hwa. Kemudian ia pindah ke Bothstraat (sekarang Jl. Wahidin, Surabaya).

Suasana di sekitar Coen Boulevard 1936-1942

Pak Hian Hwa ingat bahwa di depan Toko Yan ada halte trem listrik. “Yang dari arah kebun binatang di seberang jalan, sedangkan dari arah Jl. Urip Sumoharjo sekarang, ada di depan gedung. Sedangkan di ‘boulevard’ tertanam bunga bougenvile.

“Di sekitar gedung, di Jalan Darmo sekarang dulu ada toko sepatu dan laundry milik orang Cina. Lalu ada toko atau rumah kaca Smith. Itu ada dua macam. Kalau malam buat tempat dansa kalau siang toko bunga Martha. Kebiasaan orang Belanda dulu abonemen bunga. Jadi setiap hari ada bunga di meja yang fresh,” kenang Pak Hian Hwa. “Sedangkan bila mau istirahat orang Belanda di tempat yang sekarang rumah sakit Darmo. Dulunya tempat itu bukan rumah sakit,” jelasnya.

Yang menarik adalah adanya lampu jalan dari gas. “Kalau menyalakan, cukup dengan bambu panjang. Jadi sambil naik sepeda, lampu itu di pukul, dan kemudian menyala. Di depan toko di ujung jalan (sekarang pos polisi) ada pom bensin,” katanya sambil tersenyum.

Pak Hian Hwa pun sampai di tangga kayu. “Dulu kalau naik turun bisa berkali-kali dalam sehari. Sering-sering dengan sambil berlari, ujarnya mengenang.

Setapak demi setapak ruangan dikenang Pak Oei Hian Hwa. “Di sini adalah kamar saya dulu. Saya tidur di situ. Di belakang kamar ini dulu ada kamar mandi dan toilet jongkok,” katanya sambil menunjuk. “Daun pintu dan jendelanya memang bersirip seperti sekarang. Tapi lantai kayunya kok sudah bersih ya..,” Memang, setelah dipugar lantai kayu di lantai dua dipoles ulang.

Pada saat Surabaya jatuh ke tangan Jepang, sejak 1942 gedung tersebut diambil alih dan difungsikan sebagai kantor polisi Jepang.

Begitu seterusnya, pada saat pasca kemerdekaan pun, kepolisian Indonesia meneruskannya menjadi kantor.


Pasca Kemerdekaan RI tahun 1945 – 1993

Pada tanggal 21 Agustus 1945 Polisi Istimewa Surabaya (Tokubetsu Keisasutai) dipimpin komandan Inspektur Polisi Moh. Jasin memproklamirkan diri sebagai Polisi Republik Indonesia. Menurut Ultimatum Jenderal Mansergh Arek-arek Surabaya diharuskan meletakkan senjata-senjata yang dirampas dari Jepang di muka gedung ini.”.

“Bangunan Cagar Budaya sesuai SK Walikota no.188.45/251/402.104/1996 No. Urut 32. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Tahun 2008.”

Demikian tertulis di prasasti ruang lobby Grha WISMILAK. Pada umumnya warga Surabaya mengenal Grha Wismilak sebagai bekas kantor polisi. Anggapan tersebut tidak salah. Pasalnya gedung tersebut memang memiliki nilai sejarah tersendiri bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan, proklamasi dan eksistensi ‘Polisi Istimewa’ (yang kini menjadi nama jalan di seberang Grha WISMILAK) dilakukan sebelum terbentuknya POLRI.

Halaman
1234

Berita Terkini