Dian bercerita, sudah mengajar di sekolah itu sejak 2011 silam.
“Awal penempatan di sini saya sempat mengeluh, tapi itu manusiawi. Namun akhirnya seiring berjalannya waktu, saya jalani semuanya,” ujar Dian, Selasa (30/1/2024).
Baca juga: Pengakuan Bupati soal Guru Tampar Siswa Gegara Sembunyi di Plafon Tak Upacara, Dibela: Sudah Ngaku
Keluhan itu dialami, lantaran ibu dua anak ini bukanlah warga asli Kabupaten Madiun.
Dian berasal dari Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk.
“Rumah saya Nganjuk, saya pulang pergi setiap hari, kurang lebih lama perjalanan sekitar satu jam. Karena sering lewat, saya sampai hafal jalan mana yang berlubang,” tuturnya.
Perjalanan menuju tempat mengajar tentu bukan hal mudah bagi Dian.
Akses jalan kecil di kaki gunung kerap membuatnya kesulitan, apalagi jika ban sepeda motor yang ia tumpangi bocor di tengah perjalanan.
Sulit mencari tambal ban di sekitar sana.
“Berangkat dari rumah jam 06.30 WIB. Sampai di sekolah 07.30 WIB. Pernah bocor, karena tidak ada tambal ban, saya menuntun kendaraan. Alhamdulillah, saat itu ditolong, teman saya memanggil montir,” bebernya.
Dian mengungkapkan, pendekatan yang dilakukan selama ini antara lain memahami kultur budaya lingkungan sekitar, hingga berkenalan dengan murid maupun wali murid.
Perlahan-lahan, lanjut Dian, munculah ikatan batin yang kuat.
Bahkan, ibu dua anak ini juga muncul pemikiran yang berbeda.
“Jika seandainya meninggalkan sekolah ini, timbul kasihan untuk anak-anak. Tentang kebutuhan pendidikan mereka nanti bagaimana? Karena rumah mereka jauh,” ucapnya.
Menurut Dina, jumlah total murid dari kelas 7 sampai dengan 9 sebanyak 23 siswa. Sedangkan jumlah guru hanya 6 orang. Otomatis, mau tidak mau harus merangkap jabatan.
“Saya merangkap dari Waka Kurikulum, Guru IPA sama Operator PIP. Kalau gaji jumlahnya sama, tidak ada insentif tambahan,” terangnya.
Baca juga: Rumahnya Jadi Lahan Parkir Stasiun, Pemilik Heran Setor Rp 600 Ribu ke Dishub, Kan Tanah Pribadi