TRIBUNJATIM.COM - Viral seorang guru dijanjikan jadi PNS jika hibahkan tanah untuk sekolah.
Namun janji itu tak terwujud hingga 17 tahun kemudian.
Guru honorer itu bernama Mustamin, yang mengajar di UPT SDN 26 Lingkungan Ganjenga, Kelurahan Bulujaya, Kecamatan Bangkala Barat, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Apa yang dialami Mustamin diungkap oleh istrinya, Ratnawati.
Ratnawati juga mengajar di tempat yang sama dengan sang suami.
Kisah pilu yang dialami Mustamin terjadi sejak 2007 silam.
Pada saat itu, Mustamin menghibahkan lahannya untuk pembangunan SDN 26 yang berjarak 100 meter dari kediamannya.
Imbalannya, Mustamin akan diangkat menjadi PNS jika telah mengabdi di sekolah selama dua tahun.
"Lahan pribadi punya suami saya, dihibahkan dan dijanji mau di PNS kan, katanya honor dulu dua sampai tiga tahun," ujar Ratnawati saat ditemui di Kantor Bupati, Jl Lanto Daeng Pasewang, Kecamatan Binamu, Jeneponto, Selasa (30/1/2024), dikutip dari TribunTimur.
Baca juga: Kisah Guru asal Nganjuk Mengajar di Daerah Terpencil Madiun, Lewati Medan Sulit hingga Dorong Motor
17 tahun berlalu setelah pembangunan sekolah, hingga kini Mustamin belum mendapatkan ttik terang perihal dirinya diangkat menjadi pegawai negeri.
Padahal, perwakilan Bupati Jeneponto (Radjamilo) pada saat itu datang langsung menemui Mustamin dan menyampaikan janji.
"Waktu itu pejabat yang ada perwakilan dari bupati, ada anggota DPRD, ada pak Dinas Pendidikan. Yang menjanjikan dulu 01 (bupati) melalui perwakilannya, tahun 2007," lanjut Ratna yang juga masih berstatus honorer.
Alih-alih mendapatkan mandat PNS, Mustamin malah di PHP selama belasan tahun.
"Sampai sekarang tidak ada pengangkatan PNS untuk suamiku," kesal Ratna.
Baca juga: Nasib Guru Pencak Silat di Tulungagung usai Tendang Murid hingga Tewas, Ajukan Keberat atas Dakwaan
Dikatakan, janji pengangkatan PNS Mustamin hanya disampaikan melalui lisan tanpa keterangan tertulis.
Saat itu, Mustamin sempat ingin membuat dokumen perjanjian tertulis melalui dusun setempat namun tidak dipenuhi.
"Dusun saat itu namanya Rapa dan saat ini masih hidup, katanya apapi lagi kita semuami ini nak yang jadi suratnya, ini saja sudah menguatkan karena ada akta hibahnya, ada semuami namamu disini," jelasnya.
Lebih lanjut, Ratna mengatakan sang suami sempat kesal dan berniat menutup SDN 26 namun berhasil dicegah.
Sekolah itu diketahui hanya memiliki lima gedung tanpa ruangan kantor.
"Pernah mau natutup sekolah, tapi saya bilang dimanaka mau mengajar, saya juga kasihan sama anak-anak (siswa)," terangnya.
Ratnawati mengaku, ia bersama sang suami dinilai bersyarat untuk menjadi PNS.
Terlebih, keduanya telah mengabdi selama puluhan tahun sebagai guru honorer.
"Katanya suamiku kalau pale nda bisaka nuangkat PNS istriku tong lagi, karena keduanya bersyarat," tutur Ratnawati menirukan ucapan Mustamin.
Sebelumnya juga disorot kisah seorang guru SMP di Madiun rela melewati jalan kecil di kaki gunung demi memberikan ilmu bagi para siswa.
Guru tersebut mengajar di sekolah di daerah terpencil di Madion, Jawa Timur, tepatnya di SMP Satu Atap Gemarang yang lokasinya terletak di Dusung Tungu, Desa Batok, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun.
SMP Satu Atap Gemarang tersebut berada di lereng Gunung Wilis.
Baca juga: Ngamuk Injak Permen Karet, Guru SD Dipecat karena Tusuk 36 Bibir Murid, Bela Diri: Penitinya Baru
Sosok guru SMP tersebut adalah Dian Widiawati (40).
Dian Widiawati pun menjabat sebagai Waka Kesiswaan di SMP Satu Atap Gemarang.
Dilihat lewat aplikasi Google Maps, jarak SMP Satu Atap Gemarang dengan Caruban, mencapai 35 menit.
Sementara dari Kota Madiun, dibutuhkan waktu selama sejam dengan mengendarai sepeda motor.
Dian bercerita, sudah mengajar di sekolah itu sejak 2011 silam.
“Awal penempatan di sini saya sempat mengeluh, tapi itu manusiawi. Namun akhirnya seiring berjalannya waktu, saya jalani semuanya,” ujar Dian, Selasa (30/1/2024).
Baca juga: Pengakuan Bupati soal Guru Tampar Siswa Gegara Sembunyi di Plafon Tak Upacara, Dibela: Sudah Ngaku
Keluhan itu dialami, lantaran ibu dua anak ini bukanlah warga asli Kabupaten Madiun.
Dian berasal dari Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk.
“Rumah saya Nganjuk, saya pulang pergi setiap hari, kurang lebih lama perjalanan sekitar satu jam. Karena sering lewat, saya sampai hafal jalan mana yang berlubang,” tuturnya.
Perjalanan menuju tempat mengajar tentu bukan hal mudah bagi Dian.
Akses jalan kecil di kaki gunung kerap membuatnya kesulitan, apalagi jika ban sepeda motor yang ia tumpangi bocor di tengah perjalanan.
Sulit mencari tambal ban di sekitar sana.
“Berangkat dari rumah jam 06.30 WIB. Sampai di sekolah 07.30 WIB. Pernah bocor, karena tidak ada tambal ban, saya menuntun kendaraan. Alhamdulillah, saat itu ditolong, teman saya memanggil montir,” bebernya.
Dian mengungkapkan, pendekatan yang dilakukan selama ini antara lain memahami kultur budaya lingkungan sekitar, hingga berkenalan dengan murid maupun wali murid.
Perlahan-lahan, lanjut Dian, munculah ikatan batin yang kuat.
Bahkan, ibu dua anak ini juga muncul pemikiran yang berbeda.
“Jika seandainya meninggalkan sekolah ini, timbul kasihan untuk anak-anak. Tentang kebutuhan pendidikan mereka nanti bagaimana? Karena rumah mereka jauh,” ucapnya.
Menurut Dina, jumlah total murid dari kelas 7 sampai dengan 9 sebanyak 23 siswa. Sedangkan jumlah guru hanya 6 orang. Otomatis, mau tidak mau harus merangkap jabatan.
“Saya merangkap dari Waka Kurikulum, Guru IPA sama Operator PIP. Kalau gaji jumlahnya sama, tidak ada insentif tambahan,” terangnya.
Baca juga: Rumahnya Jadi Lahan Parkir Stasiun, Pemilik Heran Setor Rp 600 Ribu ke Dishub, Kan Tanah Pribadi
SMPN Satu Atap Gemarang sudah berdiri sejak tahun 2007.
Jumlah peserta didik paling banyak yang dimiliki sekolah tersebut hanya sekitar 50 siswa, pada tahun ajaran 2012/2013.
Jumlah itu pun terus menyusut dari tahun ke tahun, seiring hilang atau berkurangnya fasilitas yang ada di sekolah tersebut.
“Saya yakin semua bapak ibu guru yang baru ditempatkan di sini, pasti akan merasa keberatan. Tapi karena sudah merasakan bertahun-tahun, akhirnya ya sudah kayak menyatu dengan masyarakat sama anak-anak sini,” Dian menuturkan.
Dian berpesan, jika naluri sebagai seorang guru sudah terketuk, ditempatkan di mana pun akan berusaha menjalankan semuanya dengan ikhlas.
“Lambat laun pasti menemukan sesuatu hal yang tertancap di dalam benak pribadi. Lalu untuk anak-anak, motivasi lebih ditingkatkan, bahwasanya manfaatkan kesempatan untuk sekolah demi memenuhi kebutuhan pendidikan demi meraih cita cita setinggi mungkin,” pungkasnya.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com