Ketiga, Allah Swt menjelaskan bahwa kewajiban puasa pernah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu (kamā kutiba ‘alal ladzĩna min qablikum).
Ini berarti bahwa puasa bukan hanya khusus untuk generasi mereka yang diajak dialog pada masa turunnya ayat ini, tahun ke-2 hijrah, tetapi juga terhadap umat-umat terdahulu, walaupun kaifiyahnya berbeda-beda.
Pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang Mesir kuno (sebelum mereka mengenal agama samawi) telah mengenal puasa.
Dari mereka praktek puasa beralih kepada orang-orang Yahudi dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama-agama penyembah bintang, Agama Budha, Yahudi dan Kristen.
Ibn an-Nadim dalam Al-Fahrasat, menyebutkan bahwa agama para penyembah bintang berpuasa 30 hari setahun, ada pula puasa sunnah 16 hari dan ada yang 27 hari.
Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, dan juga kepada matahari. Dalam ajaran Budha juga dikenal puasa, sejak terbit sampai terbenamnya matahari. Mereka melakukan puasa 4 hari dalam sebulan, mereka menamainya “uposatha”, pada hari-hari ke-1, ke-9, ke-15, dan ke-20.
Orang Yahudi mengenal puasa selama 40 hari, bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi penganut-penganut agamanya, untuk mengenang para nabi atau peristiwa-peristiwa penting.
Agama Kristen juga demikian, walaupun dalam kitab Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, dalam praktek dikenal beragam puasa yang ditetapkan oleh pemuka agama.
Semua ini menunjukkan, bahwa ajaan Islam khususnya puasa, sebagai kelanjutan dan penyempurnaan ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Selain itu, puasa merupakan ritual universal, semua generasi pernah menjalankan, meskipun kaifiyah (cara dan aturannya) berbeda-beda.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Ad-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur, meriwayatkan hadits yang menerangkan kewajiban puasa telah ada sejak Nabi Adam As.
Ketika terusir dan diturunkan dari Surga ke bumi karena makan buah terlarang, Nabi Adam As melakukan puasa pertobatan, 3 hari sebulan, yaitu di hari-hari putih (ayyamil bidz) tanggal 13, 14, dan 15. Puasa ini dilestarikan hingga Nabi Nuh As.
Nabi Musa As kemudian diperintahkan berpuasa selama 40 hari dalam setahun, tetapi kelak orang Yahudi hanya berpuasa 2 hari, yang dikenal dengan ‘Asyura (tanggal 9-10 Muharram), yaitu puasa untuk memperingati dan mensyukuri penyelamatan Tuhan atas bangsa Israel. Sebelum puasa ramadlan ditetapkan pada tahun ke-2 hijriyah, Nabi Muhammad As melakukan puasa ayyamil bidz dan puasa ‘ayura.
Keempat, Allah memerintahkan puasa sebagai jalan/metode agar manusia bertakwa (la’allakum tattaqũn). Takwa berasal dari kata waqa yaqi wiqayatan yang berarti menjaga atau melindungi.
Dari kata ini para ulama mendefinisikan takwa sebagai menjaga diri dari murka Allah dan api neraka dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.
Dengan demikian, puasa ramadhan merupakan design pendidikan samawi, dalam mendorong dan mengantarkan manusia beriman menjadi manusia bertaqwa. Itulah pendidikan samawi, yang pernah dialami Nabi Muhammad Saw sehingga Nabi Saw menegaskan: “addabanî rabbî faahsana ta’dîbî/Tuhanku telah mendidikku, maka ia baguskan pendidikanku” (HR. Sam’ânî). Bahkan, Allah Swt memberi jaminan: “dengan berpuasa, akan menjadi lebih baik bagimu, jika kamu benar-benar mengetahui” (QS. Al-Baqarah, 2: 184). Kita harus terus mengkaji The Power of “Puasa”, karena berpuasa, khususnya puasa Ramadhan, membawa banyak berkah dan hikmah. Wallāhu a’lam…!