Laporan Wartawan TribunJatim.com, Luhur Pambudi
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Nota pembelaan (eksepsi) eks Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari, dan suaminya, eks Anggota DPR RI, Hasan Aminuddin, terdakwa dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam jabatan senilai lebih dari Rp 100 miliar, ditolak majelis hakim, di Ruang Cakra, Kantor Pengadilan Negeri Tipikor Surabaya, Kamis (4/7/2024) siang.
Pasangan suami istri itu, bakal menjalani sidang atas perkara TPPU, pada pekan depan, di tengah prosesnya menjalani masa pemidanaan sebagai terpidana atas kasus korupsi yang telah divoniskan pada tahun 2023 silam.
Hakim Ketua, Ferdinand Marcus Leander mengatakan, nota pembelaan atau eksepsi dari kedua terdakwa, tidak diterima atau ditolak.
Selain itu, ia juga menegaskan bahwa surat dakwaan JPU KPK Register Perkara No 56/NP.01.04/2024/05/2024 tanggal 27 Mei 2024, telah memenuhi syarat formil dan materiil.
Sehingga, surat dakwaan tersebut, telah dinyatakan sah sebagai dasar penuntutan dalam perkara TPPU yang menjerat kedua terdakwa.
Lalu, lanjut Ferdinand, pihaknya memerintahkan JPU KPK untuk melanjutkan Perkara No 42/Pid.sus-TPK/2024/PNsby atas nama terdakwa satu Puput dan terdakwa dua Hasan tersebut di atas.
Termasuk tentunya memerintahkan kepada JPU KPK untuk menghadirkan saksi-saksi pada persidangan berikutnya, yang berlangsung pada pekan depan.
"Keempat, melakukan pembayaran biaya perkara sampai dengan putusan akhir," ujar Ferdinand saat membacakan amar putusan sela di Ruang Sidang Cakra, Kantor Pengadilan Negeri Tipikor Surabaya, Kamis (4/7/2024).
Menanggapi nota pembelaannya ditolak majelis hakim persidangan, terdakwa Hasan mengaku telah mendelegasikan pernyataan resmi dari pihaknya kepada anggota tim penasihat hukumnya.
Baca juga: Kasus Dugaan Pencucian Uang yang Menjerat eks Bupati Probolinggo Puput Tantriana Segera Disidangkan
"Tanggapan, ke penasihat hukum (PH) ya," ujar Hasan, yang berkemeja polos warna hitam itu.
Lalu, di tengah jalannya persidangan, PH terdakwa, Diaz mengatakan, pihaknya meminta difasilitasi oleh majelis hakim agar pihak JPU KPK memberikan informasi nama yang akan dijadikan saksi dalam jalannya persidangan pada pekan depan.
"Kami minta majelis untuk menyampaikan ke JPU agar saksi-saksi nanti siapa saja orangnya," kata Diaz kepada majelis hakim persidangan.
Sementara itu, JPU KPK, Siswandono mengatakan, terdapat sekitar 400-an orang saksi dalam perkara kedua terdakwa sebelumnya.
Namun, khusus untuk perkara TPPU terdakwa dalam sidang kali ini, terdapat sekitar 200-an orang saksi yang akan dihadirkan dalam sidang lanjutan mulai pekan depan.
"Nanti kita tunggu dan klaster dulu, siapa-siapa saksi yang kami anggap keterangan sangat penting untuk pembuktian ke depannya. Jadi saksi itu adalah yang mengetahui, yang mendengar, dan yang mengetahui sendiri," katanya pada TribunJatim.com di depan ruang sidang.
Siswandono menegaskan, keputusan majelis hakim persidangan untuk melanjutkan persidangan ini dalam tahap pembuktian, merupakan keputusan yang tepat.
Penolakan nota eksepsi kedua terdakwa yang dilakukan majelis hakim persidangan, secara tidak langsung mematahkan tuduhan tak mendasar dari pihak PH terhadap dakwaan yang telah disusun pihaknya.
Artinya, Siswandono menegaskan, dakwaan yang disusun oleh pihaknya sangatlah jelas dan mendasar.
"Intinya, soal dakwaan kabur dan tidak jelas, itu tidak ada. Jadi hakim menganggap bahwa dakwaan JPU adalah dakwaan jelas dan bukan dakwaan kabur," jelasnya.
Kemudian, dakwaan yang disusun pihaknya telah dinyatakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi JPU.
Termasuk juga menjawab bahwa perkara TPPU yang menjerat kedua terdakwa kini bukan merupakan ne bis en idem.
Artinya, dikutip dari Hukumonline.com, menurut Hukumpedia, asas ne bis en idem adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya.
"Terkait dengan kewenangan izin KPK untuk melakukan penuntutan, ternyata kami berwenang. Itu menjawab tuduhan kami tidak berwenang, tapi nyatanya ditolak majelis hakim," katanya.
"Terkait ne bis en idem, ternyata bukan ne bis en idem. Ini beda dengan perkara dengan yang sudah diadili sebelumnya," pungkasnya.
Sekadar diketahui, belum juga rampung menjalani masa tahanan selama empat tahun sebagai terpidana pada kasus korupsi pada Januari 2013 silam, eks Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya, eks Anggota DPR RI Hasan Aminuddin menjalani sidang dakwaan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam jabatan senilai lebih dari Rp 100 miliar.
Dikutip dari Kompas.com, JPU KPK Arif Suhermanto menjelaskan, pasangan suami istri (pasutri) itu, didakwa melanggar Pasal 12B tentang Gratifikasi, serta Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU.
Semua gratifikasi senilai sekitar Rp 100 miliar itu, diduga diterima kedua terdakwa selama terdakwa Puput Tantriana Sari menjabat sebagai Bupati Probolinggo.
Uang tersebut diduga diperoleh dari hasil gratifikasi berbagai pihak seperti pihak swasta, pengusaha hingga ASN Pemkab Probolinggo.
Lalu, demi menghindari kecurigaan termasuk menghilangkan jejak dari pertanggungjawaban hukum, semua uang tersebut dijadikan dalam bentuk aset tak bergerak; berupa tanah, kendaraan hingga perhiasan.
Dalam perkara pertama, keduanya divonis empat tahun penjara di Pengadilan Negeri Tipikor Surabaya pada Januari 2023.
Keduanya dinyatakan terbukti melanggar Pasal 12 huruf A atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001.
Kasus yang menjerat mereka adalah dugaan suap terkait dengan seleksi atau jual beli jabatan penjabat kepala desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Probolinggo pada tahun 2021.
Hasan dan istrinya terjerat sebagai penerima suap bersama Camat Krejengan, Doddy Kurniawan dan Camat Paiton, Muhamad Ridwan.
Di lain sisi, Ketua Tim Penasihat Hukum (PH) Eks Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya, eks Anggota DPR RI Hasan Aminuddin menganggap, JPU tidak jelas dalam menguraikan perbuatan gratifikasi yang didakwakan kepada kedua terdakwa.
"Menurut uraian jaksa, gratifikasi dilakukan melalui perantara orang lain. Ternyata kebanyakan dari penerimaan uang atau barang tersebut kepada lembaga pesantren dan ormas, tanpa mengurai lebih lanjut keterkaitan penerimaan uang atau barang oleh pihak lain tersebut dengan para terdakwa," ujarnya di Kantor PN Tipikor Surabaya, Kamis (20/6/2024).
Akibat ketidakjelasan dakwaan itu, lanjut Diaz, maka hal tersebut akan merugikan hak-hak terdakwa di dalam melakukan pembelaan, dan berpotensi akan menyesatkan hakim di dalam mengambil keputusan.
Selain dianggap tidak jelas dan kabur, para terdakwa dalam eksepsinya juga menyatakan bahwa surat dakwaan yang disusun oleh jaksa dianggap bersifat ne bis in idem.
Artinya, perkara yang diajukan saat ini sama dengan perkara sebelumnya yang telah diputus oleh hakim. Apalagi, vonis pada perkara pertama, juga telah berkekuatan hukum tetap.
"Ne bis in idem merupakan asas hukum yang mengandung pengertian bahwa seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim," katanya.
Ia menjelaskan, saat ini kedua terdakwa sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI No 30 K/Pid.Sus/2023 tanggal 31 Januari 2023 yang telah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan putusan pengadilan tersebut, kedua dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU Tipikor.
"Dengan adanya frasa suap tersebut, maka pada prinsipnya penerimaan gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 B UU Tipikor tersebut adalah sama dengan penerimaan suap," tegasnya.
Ia menyebut, menurut prinsip dan karakteristiknya perbuatan penerimaan gratifikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12 B UU Tipikor adalah sama atau serupa dengan perbuatan penerimaan suap sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Ayat 2, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, dan Pasal 12 huruf b UU Tipikor.
"Sama-sama merupakan perbuatan penerimaan suap, maka perkara pidana yang saat ini didakwakan pada kedua terdakwa masuk kategori ne bis in idem. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 Ayat 1 KUHP dan Pasal 18 Ayat 5 UU HAM, tidak dapat lagi dilakukan penuntutan," pungkasnya.