Menggunakan metode ini pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian +/- 3,46 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
Menggunakan pertanyaan pertutup, sebanyak 52,5 persen responden memilih paslon nomor urut 2, Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak.
Adapun paslon nomor urut 3, Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta, dipilih 20,9 persen responden.
Sedangkan, paslon nomor urut 1, Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim, dipilih 3,8 persen reponden.
Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu soroti peluang Luluk kejar elektabilitas Khofifah dan Risma dari sisi faktor ketokohan.
"Mesin partai ekfektif, tapi kalau calon tidak begitu populer, orang enggak merasa kenal dengan orang itu, ya cenderung akan menghindari memilih," ujarnya kepada Kompas.com dalam Obrolan News Room, Jumat (15/11/2024).
Luluk-Lukmanul diusung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Namun, dalam pilkada, figur tokoh lebih menonjol dibanding partai-partai pengusungnya.
"Sosok yang kemudian sangat memengaruhi pemilih. Memengaruhi itu bisa dalam popularitas, rekam jejak," ucapnya.
Ia mengibaratkan alasan pemilih mencoblos calon tertentu seperti memilih jodoh.
"Ini kan teori sederhana, kamu kenal, kamu sayang, kamu milih. Kalau enggak kenal, apalagi bisa meyanyangi, milih pun enggak mungkin," ungkapnya.
Karena tak mengenal sosok tersebut, pemilih PKB goyah, sehingga cenderung beralih ke calon yang diusung parpol lain.
Jika dibandingkan dengan Khofifah-Emil, paslon petahana itu lebih dikenal publik karena memiliki modal sosial sebagai gubernur-wakil gubernur Jatim selama lima tahun.
"PKB belum (mengambil) keputusan pada saat itu untuk mencalonkan siapa. Luluk-Lukman hadir di last minute," tuturnya.
Khofifah-Emil telah berada di garis start, sementara Luluk-Lukmanul belum.
"Sementara yang baru mulai, social capital-nya belum kelihatan. Dia harus bertarung dengan pasangan petahana dengan durasi waktu yang relatif sempit," jelas Yohan.