“Tahun 2024 sebenarnya tidak sesuai prediksi siklus 5 tahunan. Karena itu, kami mengantisipasi kasus DBD di tahun 2025 ini,” sambung Desi.
Lanjutnya, temuan kasus DBD di awal 2025 menyebar di seluruh wilayah kecamatan.
Namun yang cukup parah ada di Kecamatan Bandung dan Kecamatan Pakel.
Kasus yang ditemukan didominasi pasien di usia anak-anak.
Dinkes juga masif melakukan edukasi agar tanggap dan deteksi dini DBD.
Menurutnya, kasus kematian pasien DBD terjadi karena terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan.
Selain itu, masyarakat abai tentang siklus pelana kuda pada pasien DBD.
“Pada 1-4 hari pertama pasien panas, hari ke-5 sampai ke-7 panasnya turun dan sering dianggap sembuh. Padahal ini fase kritis, fase bahaya bagi pasien,” tegasnya.
Temuan 2 pasien DSS yang tercatat juga karena tidak memahami siklus pelana kuda DBD.
Saat itu, pasien baru dirawat dan seharusnya melakukan kontrol atau evaluasi.
Namun pasien tidak kembali ke faskes, sehingga kondisinya memburuk dan masuk ke DSS.
“Mayoritas kematian pasien DBD terjadi pada kondisi DSS itu. Semua harus paham siklus DBD,” katanya.
Dinkes telah melakukan fogging (pengasapan) pada sejumlah daerah yang terjadi kasus DBD. Dinkes juga menempatkan mesin fogging di Puskesmas Ngantru, Ngunut, Bandung dan Pakel.
Namun karena keterbatasan tenaga, sejumlah desa telah melakukan fogging secara mandiri.
Karena setiap tahun selalu ada kasus DBD, sejumlah desa juga membeli mesin fogging sendiri serta obatnya.
Petugas Dinkes mendampingi mereka untuk menentukan komposisi obat dan teknis pengasapan.
“Kami mengapresiasi pemerintah desa yang peduli dengan pengadaan mandiri. Kami akan gandeng DPMD (Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa) agar setiap desa mengalokasikan anggaran untuk pengendalian DBD,” pungkasnya.