Berita Tulungagung

Baru Minggu Pertama Tahun 2025, Dinkes Tulungagung Temukan 32 Kasus Demam Berdarah

Penulis: David Yohanes
Editor: Dwi Prastika
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kabid Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Dinkes Tulungagung, Desi Lusiana Wardani, saat ditemui pada Kamis (9/1/2025).

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, David Yohanes

TRIBUNJATIM.COM, TULUNGAGUNG - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tulungagung menemukan 44 pasien yang ditengarai mengalami demam berdarah di awal Januari 2025.

Dari temuan itu, sebanyak 30 pasien dipastikan mengalami demam berdarah dengue (DBD) dan 2 pasien mengalami dengue shock syndrome (DSS).

DSS adalah kondisi lanjutan DBD, komplikasi infeksi demam berdarah dengue (DBD) yang memiliki tingkat kematian yang tinggi.  

Sementara sisanya, 12 pasien mengalami demam dengue, kondisi yang lebih ringan dari DBD. 

Tidak ada pasien yang meninggal dunia dari semua pasien yang ditemukan di awal 2025.

Menurut Kabid Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Dinkes Tulungagung, Desi Lusiana Wardani, kenaikan kasus ini sudah terjadi pada Oktober 2024. 

Namun di awal Januari 2025 terjadi lonjakan 32 kasus, dibanding Januari 2024 dengan total 56 kasus.

“Satu minggu awal Januari saja 32 kasus. Sampai akhir bulan, diprediksi sekurangnya ada 67 kasus,” ungkap Desi, Kamis (9/1/2025).

Desi menambahkan, ada siklus 5 tahunan kasus DBD yang terakhir terjadi tahun 2019 hingga ada Kejadian Luar Biasa (KLB). 

Berdasarkan siklus itu, ledakan kasus diprediksi terjadi di tahun 2024 kemarin.

Baca juga: Anak-anak Terjangkit DBD, Pemdes Randupitu Pasuruan Lakukan Fogging Putus Mata Rantai Penyebaran

Saat itu terjadi 1.440 kasus demam berdarah di Kabupaten Tulungagung, 15 di antaranya meninggal dunia.

Terjadi lonjakan dibanding tahun 2023 dengan 206 kasus, 3 pasien meninggal dunia.

Namun kejadian di tahun 2024 dinilai masih di bawah kasus di siklus 5 tahunan.

Karena itu, Dinkes Tulungagung mewaspadai kasus DBD di tahun 2025 ini. 

“Tahun 2024 sebenarnya tidak sesuai prediksi siklus 5 tahunan. Karena itu, kami mengantisipasi kasus DBD di tahun 2025 ini,” sambung Desi.

Lanjutnya, temuan kasus DBD di awal 2025 menyebar di seluruh wilayah kecamatan.

Namun yang cukup parah ada di Kecamatan Bandung dan Kecamatan Pakel.

Kasus yang ditemukan didominasi pasien di usia anak-anak.

Dinkes juga masif melakukan edukasi agar tanggap dan deteksi dini DBD. 

Menurutnya, kasus kematian pasien DBD terjadi karena terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan.

Selain itu, masyarakat abai tentang siklus pelana kuda pada pasien DBD.

“Pada 1-4 hari pertama pasien panas, hari ke-5 sampai ke-7 panasnya turun dan sering dianggap sembuh. Padahal ini fase kritis, fase bahaya bagi pasien,” tegasnya.

Temuan 2 pasien DSS yang tercatat juga karena tidak memahami siklus pelana kuda DBD.

Saat itu, pasien baru dirawat dan seharusnya melakukan kontrol atau evaluasi.

Namun pasien tidak kembali ke faskes, sehingga kondisinya memburuk dan masuk ke DSS. 

“Mayoritas kematian pasien DBD terjadi pada kondisi DSS itu. Semua harus paham siklus DBD,” katanya. 

Dinkes telah melakukan fogging (pengasapan) pada sejumlah daerah yang terjadi kasus DBD. Dinkes juga menempatkan mesin fogging di Puskesmas Ngantru, Ngunut, Bandung dan Pakel.

Namun karena keterbatasan tenaga, sejumlah desa telah melakukan fogging secara mandiri. 

Karena setiap tahun selalu ada kasus DBD, sejumlah desa juga membeli mesin fogging sendiri serta obatnya.

Petugas Dinkes mendampingi mereka untuk menentukan komposisi obat dan teknis pengasapan. 

“Kami mengapresiasi pemerintah desa yang peduli dengan pengadaan mandiri. Kami akan gandeng DPMD (Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa) agar setiap desa mengalokasikan anggaran untuk pengendalian DBD,” pungkasnya.

Berita Terkini