Dinding rumahnya terbuat dari triplek yang sudah mulai rapuh.
Beberapa bagian bahkan harus disangga dengan bambu agar tidak roboh.
Rumah itu berdiri di antara pepohonan besar dan rimbun, sehingga suasana sepi yang bagi sebagian orang mungkin terasa menyeramkan.
Namun, bagi Mbah Yem, itu adalah tempat tinggal yang nyaman. Ia tidak takut hidup sendiri dan menolak bergantung pada orang lain.
Untuk mencapai rumahnya, bukan perkara mudah.
Tim Tribun Jatim Network harus dipandu oleh Koordinator Gusdurian Mojokutho Pare, Anugerah Yunianto yang akrab disapa Antok menyusuri jalanan setapak yang harus dilewati cukup sulit, bahkan Google Maps pun tidak bisa diandalkan.
Baca juga: Nasib Puluhan Orangtua Telantar di Gubuk Panti Jompo Tak Resmi, Ada yang Dirantai, Ruangan Bau Busuk
Antok sendiri telah lama mengenal Mbah Yem. Ia dan juga komunitasnya juga beberapa kali memberikan bantuan dari oara donatur untuk diberikan ke Mbah Yem.
Dari jalan raya, kendaraan harus diparkir di tepi Jalan Semeru atau dekat Mapolsek Pare, lalu perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke arah timur melewati jalan setapak persawahan dan aliran sungai kecil belakang Sumber Corah Pare kurang lebih sekitar 10 menit.
Mbah Yem sebenarnya memiliki seorang anak laki-laki bernama Edi, yang kini sudah berkeluarga.
Namun, ia memilih untuk tidak tinggal bersama anaknya karena merasa tidak nyaman tinggal dengan besannya.
Meskipun demikian, Edi tetap berbakti. Setiap sore, ia datang ke rumah ibunya untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.
Sehari-hari, Mbah Yem menjalani hidup dengan penuh semangat.
Ia tidak pernah mengeluh atau merasa sengsara.
Senyumnya selalu menghiasi wajahnya saat ada yang berkunjung.
Meskipun pendengarannya mulai berkurang, ia tetap berusaha ramah dan selalu meminta maaf jika sulit menangkap percakapan.