Dedi pun mengajak seluruh pihak agar dapat bergotong royong, membantu masyarakat yang kurang mampu, guna menyelesaikan pendidikan anak-anaknya.
"Mari anak-anak kita sekolah minimal sampai SMA dan mari kita gotong royong secara bersama-sama agar orang yang miskin tetap bisa sekolah."
"Semoga Jawa Barat seluruh anak-anaknya bisa bersekolah dengan baik dengan minimal pendidikannya SMA atau SMK," katanya.
Baca juga: Dijodohkan dengan Sherly Tjoanda, Dedi Mulyadi Tulis Lirik Lagu Mangu: Cerita Kita, Sulit Dicerna
Kondisi MMH sangat memprihatinkan, di mana ia mengalami depresi akibat ketidakmampuan finansial untuk melanjutkan pendidikan.
Ayah MMH berharap pemerintah dapat memberikan perhatian dan kepedulian terhadap anaknya.
Ahmad Faozan, rekan ayah MMH yang juga merupakan kuasa hukum, mengungkapkan keprihatinannya.
"Saya tak kuasa melihat MMH yang dikenal sebagai anak berprestasi bernasib malang. Dia nekat melakukan hal yang sangat membahayakan keselamatan jiwanya," ungkap Faozan, dikutip dari Kompas.com.
Faozan menjelaskan kepada Kompas.com bahwa MMH merasa putus asa dan tidak tahu lagi harus berbuat apa.
"Dia depresi karena keinginan untuk sekolah di Kota Cirebon, tidak dapat dia gapai. Masalahnya adalah ekonomi yang menghantui kehidupannya," jelasnya.
MMH telah bekerja sebagai penjaga warung buah di Pasar Kalitanjung, Kota Cirebon, dengan upah Rp20.000 per hari.
"Korban depresi karena kemiskinan, dia tidak bisa melanjutkan SMA-nya. Dia sudah berusaha menjadi pelayan dan penjaga toko buah, tetapi upahnya tidak mencukupi," tambah Faozan yang juga Ketua Asosiasi Advokat Indonesia Cirebon Raya.
Di tengah proses pemulihan di rumah sakit, MMH terus memikirkan pendaftaran SMA di sekolah yang ia tuju.
Meskipun waktu pendaftaran sudah dibuka, kondisi saat ini membuatnya merasa putus asa karena tidak ada biaya untuk mendaftar dan memenuhi kebutuhan lainnya.
Faozan menilai situasi ini sangat ironis.
MMH dikenal sebagai anak berprestasi yang pandai berpidato dalam Bahasa Inggris saat menempuh pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di salah satu Pondok Pesantren di Kota Cirebon.
Baca juga: Sekolah Rusak di Jatim Capai Ratusan, Beberapa Bekas Peninggalan Zaman Belanda