Laporan Wartawan TribunJatim.com, Yusron Naufal Putra
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Saban tahun, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur menunjukkan tren yang fluktuatif.
Lantaran masih tingginya tren ini, DPRD Jatim terus mendorong Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Pelindungan Perempuan dan Anak.
Dalam beberapa waktu terakhir, Raperda inisiatif DPRD ini menjadi pembahasan serius di dewan terutama Komisi E.
Juru Bicara Komisi E DPRD Jatim, Puguh Wiji Pamungkas dalam rapat paripurna, Senin (23/6/2025), mengulas bagaimana pentingnya percepatan terhadap Raperda tersebut.
"Berdasarkan data SIMFONI PPA atau Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur menunjukkan tren yang fluktuatif," kata Puguh.
Dalam data tersebut, angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak memang naik turun.
Pada tahun 2023, terdapat 972 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.531 kasus kekerasan terhadap anak.
Lantas pada tahun 2024, terdapat 771 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.103 kasus kekerasan terhadap anak.
Dalam data yang dipaparkan oleh Komisi E, bentuk kekerasan yang dominan adalah kekerasan seksual yang menunjukkan bahwa ruang aman bagi kelompok rentan ini masih sangat terbatas.
Selain itu, bentuk kekerasan terhadap anak di Jawa Timur yang turut disoroti adalah perkawinan anak.
Karena terjadinya perkawinan anak, maka hak-hak anak tidak akan terpenuhi.
Baca juga: Sosok Pembunuh Balita 4 Tahun Tewas Terbakar, Hasil Autopsi Jadi Petunjuk, Kekerasan Benda Tumpul
Puguh menyinggung data dari Pengadilan Tinggi Agama tentang tingginya angka Dispensasi Kawin di Jawa Timur.
Pada tahun 2019 sebanyak 5.799 kasus naik menjadi 17.214 di tahun 2020 saat Undang-undang Perkawinan Anak disahkan yang semula minimal usia perkawinan adalah 16 tahun berubah menjadi 19 tahun.
"Sedangkan pada tahun 2021 turun menjadi 17.151 kasus dan tiap tahunnya mengalami penurunan hingga 15.095 kasus di tahun 2022, serta mengalami penurunan kembali menjadi 12.334 kasus di tahun 2023 dan turun kembali di tahun 2024 dengan 8.753 kasus," ungkap Puguh.
Tak hanya itu, kekerasan yang dikhawatirkan Komisi E adalah di ruang digital.
Di mana perkembangan teknologi saat ini, juga rentan terhadap potensi kekerasan yang dialami perempuan dan anak.
"Dinamika ini mencerminkan urgensi pembentukan kebijakan daerah yang adaptif terhadap transformasi digital dan potensi ancaman siber terhadap anak," terang Puguh.
Sementara itu, Sekdaprov Jatim, Adhy Karyono mengatakan, Raperda ini memang penting.
Terlebih agar peraturan daerah tidak tumpang tindih, mengingat saat ini pelindungan anak, dan pelindungan perempuan dan anak korban kekerasan diatur secara terpisah
Raperda ini penting, lantaran pesatnya perkembangan digital dengan potensi kekerasan yang terjadi.
"Ada untuk pelindungan kekerasan yang sifatnya cyber bullying dan sebagainya. Dan supaya tidak tumpang tindih dan supaya efektif, Komisi E menginginkan supaya fokus, sistematis dan terencana dengan baik apa-apa saja yang masuk di dalam pelindungan perempuan dan anak menjadi satu," terang Adhy Karyono saat diwawancarai awak media seusai rapat paripurna.